Teori Gender, Islam dan Modernisme dalam ASIA Kontemporer

Asia pada  tiga  tahun ke belakang disebut-sebut  sebagai benua penguasa  ekonomi masa depan.  Beberapa  negara,  termasuk  di  dalamnya  Indonesia,  karena  pertumbuhan  ekonominya yang pesat dianggap sebagai macan atau naga Asia.   Tanpa berupaya menghilangkan kenyataan terakhir bahwa Asia terserang virus krisis moneter, perubahan derajat ekonomi di benua ini telah mempengaruhi pola pandang pola
pandang tertentu. Perubahan ekonomi dari kondisi kekurangan uang  dan  barang  pada  kondisi  meluapnya  barang  dan  uang  mengakibatkan  perubahan  cara pandang  negara  terhadap  sumber  daya,  baik  alam maupun manusia.  Simpelnya  cara pandang kontemporer  dipengaruhi  oleh  cara  pandang  yang  berniat  menangguk  keuntungan  dalam paradigma ekonomisasi. Salah satu masalah yang mungkin berubah adalah permasalahan gender dalam hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi tersebut.

Dalam  berbagai  penelitian  mengenai  modernitas  di  Asia,  Maila  Stivens mendokumnetasikan dan menganalisis hubungan antara gender dan pergeseran kekuasaan yang mengiringi  kemakmuran  baru Asia,  khususnya mengenai  pengolahan  kembali makna  "publik" dan "privat". (Jurnal Perempuan, 1998: 16). Pernyataan Stivens didasarkan pada argumen, bahwa moderniasasi dan globalisasi Asia secara sistematik merupakan proses gender, dengan perhatian khusus dicurahkan pada  perdebatan di  sekitar hubungan  antara  feminitas, wilayah publik  serta privat  dan  perubahan  kelas  serya  bangsa    di  kawasan  itu.  Dari argumen  tersebut  dapat dikemukakan dua tema yang dibahas stivens, hubungan gender amat penting dalam membentuk kelas menengah dan modernitas, dan kedua,  representasi gender menduduki tempat penting  dalam  perdebatan mengenai makna  dan  identitas  yang mengiringi  proses  itu.  Identitas yang dimaksud dalam hal ini adalah identitas wanita dalam kaitannya dengan agama, dalam kali ini  akan  difokuskan  pada  agama  Islam  saja.    Atas  dasar  itu  sangat  menarik  jika mengkonseptualisasikan kaitan antara gender, modernitas dan globalisasi.  

1. Membaca Hubungan Gender dan Perkembangan Asia Makmur  
Dalam  bayangan  mengenai  dunia  masa  depan,  citra  optimis  modern  Asia  yang dikenal antara  lain adalah pertumbuhan ekonomi dan urban menakjubkan; perubahan menonjol dalam  indikator  sosial  seperti  menurunnya  tingkat  kematian  dan  kenaikan  pendapatan  serta tingkat pendidikan; konsumsi besar-besaran dalam mall-mall posmodern; harapan bisnis untuk orang kaya baru; dan harapan para aktivis untuk penyebaran demokrasi di antara kelas menengah baru. Namun optimisme  itu  juga diikuti dengan kisah-kisah yang disebut  sebagai harga  sebuah "pembangunan", yaitu jurang yang kian membesar di antara yang kaya dan miskin; pelanggaran hak asasi manusia; desas desus korupsi yang tak dapat dibuktikan; polusi; kepadatan lalu lintas; dampak teknologi elektronik; dan, yang penting dalam konteks ini adalah suara-suara keras yang mempersoalkan masalah "keluarga" dan "budaya", khususnya menyangkut Keluarga Asia dan Nilai-nilai Asia, kedudukan perempuan dan seksualitas perempuan. Amatlah menakjubkan melihat kesigapan para pemimpin Asia untuk menyelipkan konsep globalisasi  dalam  pidato  inti  mereka  mengenai  tinggal  landas  menuju  modernitas  dan  Asia Makmur.  Namun  globalisasi  ini  dilihat  sebagai  makhluk  bermuka  dua,  seperti  Janus  dalam mitologi  Yunani.  Globalisasi  dalam  bidang  ekonomi  dipuji-puji,  tetapi  pada  saat  yang  sama konsekuensi  modernitas  ditakuti  dan  dicerca  dalam  kritik  yang  dikemas  sebagai  anti-Barat. Kritik  terhadap  Barat  ini  tidak  dimaksudkan  untuk  mencerca  arus  deras  modal  asing  yang memasuki kawasan itu. Persoalannya adalah "budaya"; keluarga Asia, dan Nilai-nilia Asia dilihat sebagai cara negara-negara di kawasan itu menghadapi Abad dan milenium mendatang. Dengan demikian  ekonomi  dan  budaya  dipilahkan  satu  sama  lain. Melihat  segala  sesuatu  yang  berbau Barat sebagai racun, bahkan telah menjadi bagian dari ideologi negara. Malaysia, China, dan Singapura misalnya, sementara bergerak menuju kemakmuran baru harus menghindari  ekses-ekses  budaya  Barat. Ketika mereka melakukan  transformasi melalui pelebaran industri kapitalis yang diatur pemerintah, dan melalui sejumlah besar perempuan yang memasuki sektor kerja modern para pemimpin mengingatkan kelebihan-kelebihan Keluarga Asia dan Nilai-nilai Asia.  Jalan Asia menuju modernitas harus dilaksanakan menurut  cara Keluarga Asia yang secara implisit merupakan tugas perempuan.   Argumen  bahwa  politik  dalam  pengertianya  yang  lebih  luas  terbentuk  di  dapur,  ruang keluarga,  kamar  tidur,  tempat  kerja  dan  mall-mall  Asia  seperti  juga  di  bursa  saham  dan ruang-ruang parlemen bukan sesuatu yang baru untuk para  feminis dan para  teoritisi  ilmu-ilmu sosial,  sekalipun  gagasan  ini masih  ditolak  oleh  kebanyakan  ilmuan  politik  yang  berorientasi cara  pikir  "laki-laki"  (Viettman,  1996).  Jhon Dledhiel, misalnya, menyatakan  ilmu  politik terlalu  memberikan  penekanan  pada  negara,  institusi-institusi  formal  politik  pemerintah,  dan sentralisasi  kekuasaan.  Mengutip  Abeles  (1992:  17)  ia  mengatakan  bahwa  kita  seharusnya menghargai  komplesitas  berlapis  realitas  politik;  misalnya  tindakan  politis  dalam  kehidupan sehari-hari  dan  simbol  serta  ritual  sehubungan  dengan  tindakan-tindakan  politis  sehari-hari; budaya politik menjadi nyata ketika kekuasaan menerima peneguhan dan diperdebatkan dalam praktik kehidupan sosial (1944: 22). Kita dapat mengaitkan gender dan pembentukan kelas-kelas makmur dalam masyarakat kontemporer  Asia  dengan  memperhatikan  kembali  pembagian  wilayah  yang  dikenal  sebagai wilayah publik dan privat, terutama penekanan kembali ideologi keluarga dan domestikasi serta hubungannya  dengan  kerja  perempuan  di  luar  rumah. Namun  kita  perlu menjernihkan  terlebih dahulu  penggunaan  konsep  privat  dalam  konteks  ini.  Para  pemikir  femini  Euro-Amerika menunjukkan bahwa wacana politik Barat yang berlangsung selama ini sangat maskulin. Mereka khususnya  bersikap  krisis  terhadap  pemikiran  politis  yang  memilah  masyarakat  atas wilayah publik dan privat dan memperlakukan pemilahan  itu sebagai sesuatu yang seakan-akan berlaku universal, suatu ruang sosial yang nyata. (Moore, 1988). Sekalipun garis besar pemilahan kedua wilayah  ini  dilihat  berfariasi  secara  historis  (Eelshtain,  1981),  konseptualisasi  yang  ada umumnya secara  ideologis menempatkan perempuan ke wilayah privat,  tidak  terlihat, berada di luar politik, dengan pengandaian bahwa peran perempuan  sebagai  alat  reproduksi biologis dan pekerja  domestik  akan  menjauhkan  perempuan  dari  peran-peran  lebih  berarti  di  masyarakat. Pandangan  ini  mengakibatkan  peminggiran  dan  peremehan  hal-hal  yang  merupakan  bagian kepedulian  perempuan.  Selain  itu  pembagian  publik/privat  menurut  pola  laki-laki  ini  sangat etno-sentris,  mencerminkan  gagasan  mengenai  pemilahan  yang  dibentuk  dan  dielaborasikan menurut perkembangan modernitas Barat.

2. Teori Gender Asia dengan Masyarakat Indonesia Sebagai Model
Jika  pembentukan  modernitas  dalam  masyarakat  makmur  Asia  bersifat  gender, pertanyaannya  ialah  bagaimana  proses  ini  dapat  dijelaskan mengingat  sarana  teoritis  yang ada sangat berorientasi  pada  laki-laki.  Hampir  semua  tulisan  yang  jumlahnya memang  sedikit  mengenai  hubungan  antara  gender,  modenitas  dan  globalisasi,  kecuali  karya Janet  Wolf,  mengabaikan  dunia  di  luar  euro-sentris.  Wolf  menyatakan  bahwa  pengalaman  modernitas  perempuan  terabaikan  karena  obyek  pembahasannya  selalu  wilayah  publik; secara eksplisit atau emplisit perempuan ditempatkan di  luar kerangka acuan  itu.  (Wolf, 1985). Untuk  itu  teori gender yang digunakan dalam makalah  ini menggunakan analisis gender dalam pandangan teoritisi Asia. Toeti Heraty Noerhadi  (1998: 49) mengemukakan bahwa  isu  feminisme yang menuntut diberlakukannnya peran  publik bagi perempuan,  di  Indonesia bukan hal  yang baru. Kemestian wanita  untuk  berperan  di  luar  rumah  sudah  lama  diberlakukan masyarakat  tradisional,  untuk kemudian  dalam  perkembangan  ekonomi  modern  sering  disebut  sebagai  masyarakat  bawah. Mereka,  karena  keterbatasan  ekonomi  harus  melakukan  peran  ganda  di  tengah  masyarakat; sebagai  ibu  rumah  tangga  sekaligus  pencari  nafkah.  Kesibukannya  di  luar  rumah  tidak menyebabkan  tugas-tugas privat  terabaikan, karena mereka biasanya membedakan  antara kerja publik  sebagai  tuntutan  hidup  dan  kerja  privat  sebagai  kewajiban  budaya.  Sehingga  kegiatan privat  tidak  ditanggapi  sebagai  jajahan  budaya  lelaki  dan  sebaliknya  kegiatan  publik  tidak sebagai  kemenagan  wanita  atas  laki-laki.  Pada  golongan  masyarakat  ini  peran  ganda  terlihat dalam tataran ambiguitas atau liminal, ambang pintu. Pada  golongan  masyarakat  yang  kedua,  golongan  menengah,  terjadi  pada  masyarakat yang  tidak menghadapi masalah  ekonomi  dan  tuntutan mencari  nafkah. Urusan  nafkah  sudah tercukupi  oleh  kegiatan  publik  sang  suami. Wanita  pada  golongan  menengah  ini  menikmati dunia privatnya sebagai istri atau ibu rumah tangga yang membantu karir suami di dunia privat. Mereka  menikmati  gaji  suaminya  untuk  mengkonsumsi  segala  hal,  itu  pun  dalam  rangka memenuhi  kepentingan  keluarga. Apa  yang  dilakukan  kelompok  ini  didorong  oleh  kesadaran bahwa  keberhasilan martabat  suami  dan  keluarga  berada  di  tangan wanita  dan  kodrat  wanita Indonesia memang menjadi pusat berlangsungnya kegiatan sosial dan pendidikan budaya. Berbeda dengan kedua golongan sebelumnya, kelompok elite masyarakat Indonesia (istri pejabat,  akademikus,  sarjana  atau mahasiswa) merasa  bahwa  peran  ganda  ini  harus  diterapkan dengan  cara  meninggalkan  atau  menyepelekan  peran  privat.  Keperluan  untuk  lebih mementingkan peran publik ketimbang peran privat ini karena mereka membutuhkan citra baru, dan menganggap hidup di dunia publik sebagai gaya hidup baru di dunia modern. Sehingga apa yang dilakukan sering disertai keinginan untuk  tenar di dunia sosial (publisitas) dan menaikkan citra.  Tiga  golongan masyarakat  Indonesia  ini  dihancurkan  oleh  datangnya modernisme dan  globalisasi. Masyarakat  bawah  kemudian  tergusur  karena  wilayah  ekonominya  tersingkir oleh  sistem  ekonomi  baru,  mereka  terlempar  dan  harus  berusaha  keras  sehingga  terpaksa melupakan  wilayah  privat.  masyarakat  menengah  terjebak  pada  kesenggangan  waktu  yang dimilikinya  yang menyebabkan mereka menjadi  obyek  ekonomi  baru  yang  diwartakan media massa.   Konsep utama yang harus dipergunakan dalam mempertimbangkan peran gender dalam kemakmuran  baru  itu  adalah  konsumsi.  Jonathan  Friedman  menunjukkan  bahwa  konsumsi besar-besaran merupakan  ciri  pencarian  terus-menerus  dan  pembentukan  yang  baru, termasuk identitas  baru  yang  merupakan  cap  modernitas  dan  pasca  modernitas.  Gagasan  yang menghubungkan pasar dan identitas ini, sekalipun tidak memperhatikan gender konsumsi, cukup bermanfaat untuk para feminis yang mencoba memahami persoalan gender dan globalisasi dalam masyarakat  makmur  Asia.  Pola  konsumsi  rumah  tangga  memberi  gambaran  untuk  secara langsung  mengaitkan  gender  dengan  teori  mengenai  hubungan  antara  proses  global  tingkat makro dan kompleksitas serta kehususan lokal. Perkembangan  feminitas  baru  berdasarkan  pola  kosnumer/istri/ibu  dan  kosumer/ perempuan muda cantik dapat dilihat sebagai bagian penting dari perkembangan pesat ekonomi di kawasan Asia. Kontes Ratu Kecantikan  Indonesia misalnya, merupakan pertanda dunia  luar bahwa  Indonesia  telah membuka  diri  untuk  dunia  bisnis;  suatu  tema  yang menggema melalui banyak karya-karya budaya mengenai kemakmuran baru Asia. de Grazia (1996:1) menunjukkan bahwa perbuatan konsumsi dan belanja di dalam masssyarakat Barat "telah  lama secara obsesif mengalami peng-genderan, umumnya sebagai perempuan". Secara prinsip pergeseran relasi publik dan privat di Asia mirip dengan perkembangan di Barat. Dengan mudah hal ini dapat dilihat sebagai hasil globalisasi, mengingat keterikatan yang panjang  pada  ideologi-ideologi  kolonial  dan  pasca  kolonial.  Bagaimanapun,  efek  penyebaran citra mengenai yang privat dan publik melalui media global juga tidak dapat dianggap kecil. Di beberapa wilayah pemukiman yang  terus bertumbuhan di kota-kota  tidak  sedikit  rumah  tangga yang  betul-betul  menyerupai  wujud  wilayah  privat  modernitas  Barat.  Sekalipun  demikian kebanyakan  citra  rumah  tangga  paling  baik  jika  dipahami  sebagai  hasil  perkembangan  yang sangat  lokal.  Perhatian  media  terhadap  persoalan  perempuan  karir  dan  kesemrawutan permasalahan sehari-harinya  menunjukkan  perembesan  dalam  pembagian  wilayah publik/privat.  

3. Konsep Islam dan Gender dalam Pergeseran Asia Makmur
  Cita-cita Asia Makmur  yang mencapai  kemakmuran  atau  pertumbuhan  ekonomi  yang pesat  sambil  terus  mempertahankan  nilai-nilai  budaya  Asia  dan  nilai-nilai  keluarga  ternyata berhadapan dengan efek  lain dari globalisasi, yaitu konsumerisme, dan penindasan kapitalisme.   Efek modenitas  dan  globalisasi  ini membuat wanita  baik  yang  berdiam  di wilayah  privat dan wilayah publik  terseret  untuk  sama-sama di dalam publik dengan  identitas  yang  lain.  Identitas yang berbeda jauh dengan budaya Asia, yaitu identitas yang dipengaruhi oleh budaya Barat yang memihak  pada  kelanggengan  proses  kapitalisme.  Globalisasi  ini mengacaukan  sistem  budaya Asia,  sehingga  wanita  terseret  pada  dunia  publik  yang  ganas  dan  menghancurkan kepribadiannya.  Kehancuran  kepribadian  ini  tentu  saja  menyebabkan  hancurnya  nilai-nilai keluarga  yang  tersisa.   Wilayah keluarga Asia yang diatur oleh wanita mengalami kehancuran internalisasi nilai-nilai budaya asali akan mengacaukan cita-cita Asia Makmur. Menghadapi  dilema  tersebut  bisa  terselesaikan  jika  ada  teori  gender  yang  sanggup memunculkan kembali prinsip gender golongan bawah, menyetarakan antara wilayah privat dan publik, dengan tetap tanpa kehilangan identitas budaya lokal. Kebutuhan akan teori gender baru ini  diperlukan  segera  agar  perkembangan  perekenomian  Asia  tidak  terjebak  pada  krisis  yang dialami masyarakat Barat, yaitu kehancuran manusia dan kematian masyarakat berbudaya. Islam memandang pribadi keluarga sebagai inti dari pembangunan kesadaran akan hidup yang berarti. Prinsip  ini dikemukakan dengan kalimat "qû anfusakum wa ahlîkum nâra",  suatu pernyataan  yang  ditujukan  pada  semua  individu  baik  wanita  maupun  laki-laki. Ketidakberpihakan  seruan  tersebut memang  bersesuaian  dengan  pandangan  al-Qur`an tentang posisi  wanita  dan  laki-laki  dalam  keluarga,  yaitu  antum  libats-un  lakum  wa  hunna  libats-un lahunn-a, laki-laki sebagai baju wanita dan wanita sebagai baju laki-laki. Walaupun demikian dengan alasan pencarian nafkah posisi wanita ditempatkan di dalam ruang  privat,  juga  sebagai  manifestasi  dari  karunia  Tuhan  yang  diberikan  terhadap  wanita. Karunia itu ialah "rahim", tempat janin dibuahi dan berkembang menjadi bayi, yang merupakan salah  satu  nama  Tuhan  dan  berarti  kasih  sayang. Dari  karunia  ini maka  tugas wanita  adalah manusia yang melahirkan, menyusui, dan memberi kasih sayang Tuhan atau dalam bahasa  lain menciptakan manusia sempurna. Kenyataan  ini  tidak  berarti  bahwa  Islam melarang  peranan wanita  di  luar  rumah, sektor  publik.  Dalam  al-Qur`an  pernah  dikemukakan  wanita  karier,  Ratu  Bilqis,  yang keberadaannya tetap dipertahankan tetapi sebagai wanita ia harus menjadi "baju dan membajui", sehingga harus dinikahi oleh Nabi Sulaeman. Kisah tersebut menceritakan prinsip kesamaan dan keseimbangan antara kemanusiaan wanita dan tugas kerahimannya menjadi titik tolak perananan wanita di dunia sosial. Sementara mengenai peranan ganda wanita yang menyeimbangkan  tuntutan nafkah dan kewajiban  membina  rumah  tangga  sepintas  lalu  mengandung  kontradiksi.  Tinggal  di  dalam rumah  tentu  saja privat  dan  tidak mungkin  sekaligus publik. Mengutip  apa  yang dikemukakan Miranda Risang Ayu, bahwa kontradiksi  tersebut bisa didamaikan dengan cara mentakwil dari kata  "rumah".  Secara  esensi  rumah  adalah  tempat  berangkat  dan  tempat  kembali  di mana  di dalamnya  kita merasakan  perlindungan,  dan  kenyamanan. Suatu  tempat  yang  bisa memberikan esensi rumah tersebut dengan seluruh hanyalah "di sisi Tuhan", sehingga "rumah" bisa dimaknai dengan "nilai-nilai Tuhan". Pemaknaan ini akan menyelamatkan wanita dari bencana globalisasi, sekaligus memberi makna  baru  bagi  privat  dan  publik.  Privat  lebih  dimaknai,  dalam wacana takwil, sebagai kegiatan di dalam nilai-nilai Ilahi, dan publik sebagai kegiatan di luar nilai-nilai Tuhan.  Pemkanaan  baru  ini  akan  mengarahkan  seluruh  kegiatan  wanita  Islam  tetap  dalam nilai-nilai  kerahimannya.  Barangkali  dengan  teori  seperti  ini  cita-cita  Asia  Makmur  bisa tercapai.


4. Penutup  
  Tulisan ini hanya menggambarkan fenomena umum wanita di tengah pembangunan Asia. Pengemukaan  teori  gender  "baru"  hanya  sekedar  salah  satu  alternatif  yang  mungkin  bisa digunakan  agar  cita-cita Asia Makmur mencapai  titik  kulminasinya. Teori-teori  yang  lain bisa mengisi kebutuhan ini.
  Wallahu A`lam bi al-Shawab  




Daftar Rujukan
 
Toeti Heraty Noerhady, "Panggilan Nairobi", Majalah Prisma, Thn. XIV, No. 10, 1985
__________________, "Sebab-Akibat Peran Ganda Wanita" (paper)
__________________,  "Mitra  Seajar  daalam  Pembangunan:  Tantangan  atau  Jebakan?,  Jurnal
Perempuan, Edisi-05, November-Januari 1998.
Ahmed, Akbar.S., Islam dan Posmodernisme, Mizan, Bandung 1993  
Maila  Stivens,  "Gender  daan  Orang  Kaya  Baru:  Teori  Gender,  Kekuasaan  dan Modernitas dalam Asia Kontemporer", Jurnal Perempuan, edisi-05, November-Januari 1998
Jurnal Perempuan 1, 2, 3, 4.,Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 1996-1997.   


ditulis oleh Lilis Sulastri
disunting oleh Admin

0 komentar:

Post a Comment