Thomas Aquinas
Thomas Aquinas (1225-1274) adalah seorang filsuf dan teolog dari Italia yang sangat berpengaruh pada abad pertengahan. Karya Thomas Aquinas yang terkenal adalah Summa Theologiae (1273). Buku ini merupakan sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen. Pada tahun 1879, ajaran-ajarannya dijadikan sebagai ajaran yang sah dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII. Thomas Aquinas juga disebut Thomas dari Aquino (bahasa Italia: Tommaso d’Aquino).
Riwayat Hidup
Aquinas dilahirkan di Roccasecca dekat Napoli, Italia. dalam keluarga bangsawan Aquino. Ayahnya ialah Pangeran Landulf dari Aquino dan
ibunya bernama Countess Teodora Carracciolo. Kedua orang tuanya adalah orang Kristen Katolik yang saleh. Thomas, pada umur lima tahun diserahkan ke biara Benedictus di Monte Cassino agar dibina untuk menjadi seorang biarawan. Setelah sepuluh tahun Thomas berada di Monte Cassino, ia dipindahkan ke Naples. Di sana ia belajar mengenai kesenian dan filsafat (1239-1244). Selama di sana, ia mulai tertarik pada pekerjaan kerasulan gereja, dan berusaha untuk pindah ke Ordo Dominikan, suatu ordo yang sangat berperan pada abad itu. Keinginannya tidak direstui oleh orang tuanya sehingga ia harus tinggal di Roccasecca setahun lebih lamanya.Namun, karena tekadnya pada tahun 1245, Thomas resmi menjadi anggota Ordo Dominikan.
Sebagai anggota Ordo Dominikan, Thomas dikirim belajar pada Universitas Paris, sebuah universitas yang sangat terkemuka pada masa itu. Ia belajar di sana selama tiga tahun (1245 -- 1248) Di sinilah ia berkenalan dengan Albertus Magnus yang memperkenalkan filsafat Aristoteles kepadanya. Ia menemani Albertus Magnus memberikan kuliah di Studium Generale di Cologne, Perancis, pada tahun 1248 - 1252.
Pada tahun 1252, ia kembali ke Paris dan mulai memberi kuliah Biblika (1252-1254) dan Sentences, karangan Petrus Abelardus (1254-1256) di Konven St. Jacques, Paris. Thomas ditugaskan untuk memberikan kuliah-kuliah dalam bidang filsafat dan teologia di beberapa kota di Italia, seperti di Anagni, Orvieto, Roma, dan Viterbo, selama sepuluh tahun lamanya. Pada tahun 1269, Thomas dipanggil kembali ke Paris untuk tiga tahun karena pada tahun 1272 ia ditugaskan untuk membuka sebuah sekolah Dominikan di Naples.
Dalam perjalanan menuju ke Konsili Lyons, tiba-tiba Thomas sakit dan meninggal di biara Fossanuova, 7 Maret 1274. Paus Yohanes XXII mengangkat Thomas sebagai orang kudus pada tahun 1323
Pemikiran dan Ajaran
Allah
Thomas mengajarkan Allah dalam pandangannya yang mencerminkan pengaruh filsafat Aristoteles: sebagai "ada yang tak terbatas" (ipsum esse subsistens).
- Allah adalah "zat yang tertinggi", yang memunyai keadaan yang paling tinggi.
- Allah adalah penggerak yang tidak bergerak.
Manusia dan Dunia
Dunia dan hidup manusia menurut Thomas terbagi atas dua tingkat, yaitu tingkat adikodrati dan kodrati, tingkat atas dan bawah. Tingkat bawah (kodrati) hanya dapat dipahami dengan mempergunakan akal. Hidup kodrati ini kurang sempurna dan ia bisa menjadi sempurna kalau disempurnakan oleh hidup rahmat (adikodrati).
"Tabiat kodrati bukan ditiadakan, melainkan disempurnakan oleh rahmat" |
Thomas mengajarkan bahwa pada mulanya manusia memunyai hidup kodrati yang sempurna dan diberi rahmat Allah
Dosa
Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rahmat Allah (rahmat adikodrati) itu
hilang dan tabiat kodrati manusia menjadi kurang sempurna. Manusia tidak dapat lagi memenuhi Hukum Kasih tanpa bantuan rahmat adikodrati. Rahmat adikodrati itu ditawarkan kepada manusia lewat gereja.
Dengan bantuan rahmat adikodrati itu manusia dikuatkan untuk
mengerjakan keselamatannya dan memungkinkan manusia dimenangkan oleh Kristus.
Sakramen
Mengenai sakramen, ia berpendapat bahwa terdapat tujuh sakramen yang diperintahkan oleh Kristus, dan sakramen yang terpenting adalah Ekaristi (sacramentum sacramentorum). Rahmat adikodrati itu disalurkan kepada orang percaya lewat sakramen.
Dengan menerima sakramen, orang mulai berjalan menuju kepada suatu
kehidupan yang baru dan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang
menjadikan ia berkenan kepada Allah.
Dengan demikian, rahmat adikodrati sangat penting karena manusia tidak
bisa berbuat apa-apa yang baik tanpa rahmat yang dikaruniakan oleh
Allah.
Gereja dipandangnya sebagai lembaga keselamatan yang tidak dapat berbuat salah dalam ajarannya. Paus
memiliki kuasa yang tertinggi dalam gereja dan Pauslah satu-satunya
pengajar yang tertinggi dalam gereja. Karya teologis Thomas yang sangat
terkenal adalah "Summa Contra Gentiles" dan "Summa Theologia".
Salah satu filsuf Kristen yang mengkritik pemikiran Thomas Aquinas adalah Gordon H. Clark. Bukunya "God's Hammer" halaman 67 sampai 71 berisi kritikan beliau terhadap Thomas. Terjemahan bebas saya
Dalam sejarah pemikiran Kristen, antithesis antara iman dan akal budi (reason)
telah didekati dengan berbagai metode. Perdebatan antara sesama Kristen
dan antara Kristen dengan kaum sekuler kadang-kadang mengakibatkan
kebingungan karena istilah yang dipakai tidak selalu didefinisikan
dengan jelas. Bukan hanya Agustinus dan Kant memiliki pandangan yang berbeda tentang natur iman,
namun istilah akal budi (reason) sendiri mengandung arti yang
bermacam-macam. Setelah memberikan gambaran singkat tentang latar
belakang historis, penulis berharap menghindari kebingungan seperti itu
dengan mengemukakan definisi akal budi (reason) yang mungkin membantu
pembelaan terhadap wahyu sebagai sesuatu yang rasional.
Upaya Skolastik
Abad Pertengahan Dalam gambaran historis singkat ini, metode untuk
menghubungkan iman dan rasio yang pertama dibahas adalah filsafat Thomistik Gereja Roma Katolik.
Selain persetujuan (assent) pribadi orang percaya, dalam system ini
iman artinya informasi yang diwahyukan yang ada dalam Alkitab, tradisi,
dan suara hidup dari gereja Roma. Akal budi artinya informasi yang dapat
diperoleh melalui pengamatan inderawi terhadap alam dan diinterpretasi
intelek. Rasionalis abad ketujuhbelas membedakan akal budi (reason)
dengan sensasi [inderawi], Thomas membedakan akal budi (reason) dan wahyu.
Kebenaran akal budi adalah kebenaran yang dapat diperoleh melalui
kemampuan indera dan intelek alamiah manusia tanpa bantuan anugerah supranatural.
Definisi iman dan akal budi ini mengakibatkan wahyu hanya “tidak
masuk akal” (unreasonable) secara verbal; wahyu tidak dapat disebut
tidak masuk akal atau irasional dalam pengertian yang merendahkan.
Kadang-kadang kita curiga kaum sekuler menggunakan verbalisme untuk
memberikan kesan yang menakutkan.
Thomisme memang menekankan ketiadaan kompatibilitas antara iman dan akal budi, namun ketiadaan kompatibilitas itu bersifat psikologis
semata. Kalau Alkitab mewahyukan bahwa Allah ada dan kita percaya
Alkitab, maka kita memiliki kebenaran iman. Namun demikian, menurut
Thomisme adalah memungkinkan untuk mendemonstrasikan keberadaan Allah
melalui pengamatan terhadap alam. Aristoteles berhasil melakukannya.
Namun, kalau seseorang telah secara rasional mendemonstrasikan proposisi
ini, orang itu tidak lagi “percaya”, dia tidak lagi menerima proposisi
itu berdasarkan otoritas; dia “mengetahui” proposisi itu. Secara
psikologis tidak mungkin pada saat yang sama “percaya” dan “mengetahui”
satu proposisi. Seorang guru mungkin memberitahu siswanya bahwa segitiga
memiliki 180o dan sang siswa percaya perkataan sang guru; namun setelah
si siswa mempelajari buktinya, maka dia tidak lagi menerima teorema
berdasarkan kata-kata guru. Si siswa sudah mengetahui sendiri. Tidak
semua proposisi wahyu dapat didemonstrasikan dengan filsafat rasional;
tetapi ada kebenaran-kebenaran yang dapat didemonstrasikan yang juga
telah diwahyukan kepada manusia, karena Allah tahu bahwa tidak semua
orang memiliki kemampuan intelektual seperti Aristotle; karena itu Allah
mewahyukan beberapa kebenaran itu, walaupun dapat didemonstrasikan,
demi kebanyakan umat manusia.
Muatan (content) wahyu yang tidak dapat didemonstrasikan (seperti
doktrin Trinitas dan sakramen), walaupun berada di luar jangkauan akal
budi seperti definisi di atas, tidaklah irasional atau nonsensical. Kaum
Muhammadean (Islam) Abad Pertengahan dan kaum humanis modern dapat saja
mengklaim bahwa doktrin Trinitas tidak rasional, namun akal budi cukup
mampu untuk mendemonstrasikan bahwa keberatan yang dikemukakan
keliru/salah (fallacious). Kebenaran iman yang lebih tinggi tidak
bertentangan dengan kesimpulan akal budi manapun; sebaliknya doktrin
wahyu melengkapi apa yang tidak dapat dicapai oleh akal budi. Kedua
rangkaian kebenaran ini, atau lebih tepatnya kebenaran yang diperoleh
dari dua metode berbeda ini saling melengkapi. Bukannya menjadi
penghalang bagi akal budi, iman berfungsi memberi peringatan kepada
seorang pemikir bahwa dia melakukan kesalahan. Kita tidak boleh
memandang seorang percaya sebagai seorang yang harus dibebaskan dari
penjara imannya; iman hanya membatasi dari kesalahan. Dengan demikian
iman dan akal budi serasi satu dengan yang lain.
Hanya satu kritik yang akan penulis kemukakan tentang sistem ini,
tetapi kritik ini dipandang sangat penting oleh kaum Thomist dan
penentangnya. Kalau argumune kosmologis
bagi keberadaan Allah merupakan kesalahan logika, maka Thomisme dan
pandangannya tentang hubungan antara iman dan akal budi tidak dapat
dipertahankan .
Kesulitan yang dialami argumen kosmologis adalah ketidakmemadaian wahyu
umum seperti dibahas sebelumnya. Kalau diasumsikan bahwa semua
pengetahuan (knowledge) dimulai dengan pengalaman inderawi dan karena
itu pada saat orang memandang alam tanpa pengetahuan tentang Allah, maka
segala kemalangan (calamities) manusia dan keterbatasan serta perubahan
di alam semesta – seberapapun luasnya galaksi-galaksi yang ada – menghalangi kesimpulan tentang satu pribadi Allah yang Mahakuasa dan juga Baik.
Terhadap keberatan-keberatan ini, yang dikemukakan dengan tajam oleh
David Hume, dapat ditambahkan kritik khusus formulasi Aristotelian
Thomas Aquinas. Tiga keberatan akan dikemukakan. Pertama, Thomisme tidak
dapat bertahan tanpa konsep potentialitas (potentiality) dan aktualitas
(actuality), namun Aristotle tidak pernah berhasil mendefinisikannya.
Sebaliknya dia [Aristotle] mengilustrasikannya dengan perubahan fenomena
lalu mendefinisikan perubahan atau gerak (motion) dalam hal aktualitas
(actuality) dan potentialitas (potentiality). Untuk memberikan
justifikasi terhadap keberatan ini, diperlukan terlalu banyak apparatus
teknis yang tidak bisa diakomodasi dalam tulisan ini. Dan kalau pembaca
menghendaki, dia tidak perlu memberi penekakan pada keberatan pertama.
Kedua, Thomas berargumentasi bahwa kalau kita melacak penyebab gerak
(motion), kita tidak dapat meneruskan berjalan mundur tanpa batas.
Alasan yang secara eksplisit diberikan dalam Summa Theologica untuk
menyangkali hal itu adalah kalau hal itu terjadi maka tidak akan ada
Penggerak/Penyebab Pertama (First Mover). Namun alasan yang digunakan
sebagai premis ini jugalah yang digunakan sebagai kesimpulan di akhir
argumen. Argumen ini dimaksudkan untuk membuktikan keberadaan First
Mover, namun First Mover ini diasumsikan dulu sebagai sesuatu yang ada
untuk menolak infinite regress (mundur tidak terbatas). Karena itu jelas
argumen ini adalah sebuah kekeliruan (fallacy).
Alasan ketiga yang akan kita bahas lebih rumit. Namun karena terkait
dengan hal yang banyak diperdebatkan saat ini, maka pantas diberikan
perhatian lebih. Bagi Thomas Aquinas, ada dua cara mengenal Allah. Pertama melalui
teologi negatif. Hal itu tidak akan kita bahas di sini. Kedua melalui
metode analogi. Karena Allah adalah pure being, tanpa bagian, yang
esensiNya identik dengan keberadaanNya, maka istilah-istilah yang
diterapkan pada Allah tidak dapat digunakan tepat dengan cara yang sama
dengan pada saat diterapkan pada ciptaan. Kalau dikatakan bahwa seorang
manusia bijaksana dan Allah bijaksana, harus diingat bahwa kebijaksanaan
manusia adalah kebijaksanaan yang diperoleh/dipelajari, sementara itu
Allah tidak pernah belajar. Pikiran manusia tunduk kepada kebenaran;
kebenaran adalah pimpinannya. Namun pikiran Allah adalah penyebab
kebenaran karena Allah memikirkannya, atau mungkin lebih baik
diformulasikan, Allah adalah kebenaran. Karena itu istilah pikiran tidak
memiliki arti yang tepat sama pada manusia dan pada Allah. Hal ini
tidak hanya berlaku untuk istilah-istilah di atas, tetapi juga pada
gagasan tentang eksistensi. Karena keberadaan Allah adalah esensiNya –
identitas yang tidak dapat diduplikasikan- maka bahkan kata keberadaan
(existence) tidak berlaku sama (univocal) pada Allah dan pada ciptaan.
Pada saat yang sama, Thomas tidak mengakui bahwa istilah-istilah itu
juga memiliki arti berbeda sama sekali (equivocal). Pada saat dikatakan
bahwa playboys lead fast lives, while ascetics fast, kata [fast] dalam
kedua anak kalimat itu tidak memiliki arti yang sama. Walaupun
huruf-huruf dan pengucapannya sama, kandungan intelektual dalam kedua
anak kalimat itu berbeda sama sekali. Thomas memilih jalan tengah antara
perbedaan makna (equivocation) dan kesatuan makna ketat (strict
univocity) dengan mengatakan bahwa kata-kata bisa digunakan secara
analogis; dan dalam hal Allah dan manusia, predikat yang digunakan
diterapkan secara analogis. Jika makna analogis dari bijaksana atau keberadaan memiliki bidang
arti yang sama [bagi manusia dan Allah], maka bidang arti ini pasti
dapat dikemukakan dengan menggunakan satu istilah yang berlaku untuk
keduanya. Istilah ini dapat digunakan untuk Allah dan untuk manusia.
Namun Thomas menekankan bahwa tidak ada istilah yang dapat diterapkan
demikian. Implikasinya adalah semua sisa kemungkinan makna identik di
antara keadaan terhapus. Namun kalau memang demikian adanya,
bagaimanasebuah argument – argument kosmologis – secara formal syah
kalau premis menggunakan satu istilah dengan pengertian tertentu dan
dalam kesimpulannya menggunakan istilah yang sama dengan arti yang
berbeda sama sekali? Premis argument kosmologis berbicara tentang
eksistensi penggerak/penyebab (mover) dalam kisaran pengalaman manusia;
kesimpulannya terkait dengan keberadaan Penggerak/Penyebab Pertama.
Namun, jika istilah ini tidak dapat dipahami dengan pengertian yang
sama, maka argument tersebut keliru/salah (fallacious).
Karena itu, upaya untuk secara Thomistik menghubungkan iman dan akal
budi gagal – lebih karena pandangannya tentang akal budi dari pada
terhadap iman-; perlu ada upaya lain untuk membela rasionalitas wahyu.
Sumber : Wikipedia