Terminologi Filsafat
Demikian
kata Magnis, "Filsafat sebagai usaha tertib, metodis,
yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang
sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja,
yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya
oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai,
mengkritik data-data dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman
sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai latihan untuk belajar
mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari pelbagai
penjuru ditawarkan kepada kita. Kalau kita disuruh membangun masyarakat,
filsafat akan membuka implikasi suatu pembangunan yang misalnya hanya
mementingkan kerohanian sebagai ideologi karena manusia itu memang bukan hanya
rohani saja. Atau, kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai
prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan
itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa
bahagia. Dan kalau pelbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu
kepada kita, filsafat dapat membantu kita dalam mengambil sikap yang dewasa
dengan mempersoalkan hak dan batas mereka untuk mewajibkan sesuatu. Terhadap
ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Atau orang yang
mau mengekang kebebasan kita atas nama Tuhan yang Mahaesa, filsafat akan
menarik perhatian kita pada fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah manusia
saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan
suara manusia begitu saja. Dan kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala
nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang
filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato,
dan bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain jaman itu, Aristoteles"
(Franz Magnis-Suseno, Berfilsafat Dari Konteks,
Jakarta, Gramedia, 1999).
Untuk
menutup pemahaman awal kita mengenai terminologi "filsafat", baiklah
dicatat nuansa perbedaan arti "filsafat" dengan istilah-istilah yang
hampir serupa dengan ini, yakni "falsafah", "falsafi"
atau "filsafati", "berpikir filosofis"
dan "mempunyai filsafat hidup" yang sering kita dengar, kita
baca, atau bahkan mungkin kita pakai dalam hidup keseharian kita.
"Falsafah" itu tidak lain filsafat itu sendiri. "Falsafi"
atau "filsafati" artinya: "bersifat sesuai dengan kaidah-kaidah
filsafat". "Berpikir filosofis", sesungguhnya begini: berpikir
dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang
muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik.
Berpikir benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa
memfitnah adalah tindakan yang jahat. Tetapi dapat pula ia tetap memfitnah
karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak
melakukannya. Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan
gabungan antara keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan,
"mempunyai filsafat hidup" mempunyai pengertian yang lain sama sekali
dengan pengertian "filsafat" yang pertama. Ia bisa diartikan
mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu.
Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat bahwa "tujuan menghalalkan
cara".
Sekarang
kita melangkah untuk melihat lebih dekat tentang hubungan antara filsafat, ilmu
dan agama. Masalah tentang hubungan antara ketiganya adalah suatu masalah yang
sering dipersoalkan. Ada yang menyatakan pendapat bahwa filsafat hendak
menyaingi sains dan agama, demikian pula sebaliknya. Akhirnya, terjadi saling
curiga mencurigai antara ketiganya, yang tak jarang merugikan bagi kepentingan
pencarian akan kebenaran itu sendiri.
1. Relasi Filsafat, Ilmu dan Agama
Sudah
diuraikan di atas bahwa yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran.
Demikian pula ilmu. Agama juga mengajarkan kebenaran. Kebenaran dalam filsafat
dan ilmu adalah "kebenaran akal", sedangkan kebenaran menurut agama
adalah "kebenaran wahyu". Kita tidak akan berusaha mencari mana yang
benar atau lebih benar di antara keduanya, akan tetapi kita akan melihat apakah
keduanya dapat hidup berdampingan secara damai apakah keduanya dapat bekerjasama atau bahkan saling bermusuhan
satu sama lain. Meskipun filsafat dan ilmu mencari kebenaran dengan akal, hasil
yang diperoleh baik oleh filsafat maupun ilmu juga bermacam-macam. Hal ini
dapat dilihat pada aliran yang berbeda-beda, baik di dalam filsafat maupun di
dalam ilmu. Demikian pula terdapat bermacam-macam agama yang masing-masing
mengajarkan kebenaran. Bagaimana mencari hubungan antara ilmu, filsafat dan
agama akan diperlihatkan sebagai berikut:
Perhatikan
ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang
sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai
sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita.
Misalnya, ia melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini
berarti ia telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Jika ia meneruskan
bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana
asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan
diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik
beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu
tentang manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika
ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa
ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika
ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya,
jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau
antropologi sosial.
Dari
contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi
lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu.
Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya,
jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat
manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu "filsafat". Dalam hal
ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya
dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di
balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm. Anton Bakker,
dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada menggunakan istilah
"antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada macam filsafat ini.
Jawaban yang dikemukan bermacam-macam antara lain:
- Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme.
- Dualisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga tidak terdapat hubungan.
- Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
- Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Di
samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan
sebagai bernilai filsafati. Misalnya:
- Aristoteles:
o Manusia adalah animal rationale.
Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
§ Tumbuhan = benda mati + hidup ----> tumbuhan
memiliki jiwa hidup
§ Binatang = benda mati + hidup + perasaan
----> binatang memiliki jiwa perasaan
§ Manusia = benda mati + hidup + akal ---->
manusia memiliki jiwa rasional
- Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.
- Manusia adalah "makhluk hylemorfik", terdiri atas materi dan bentuk-bentuk.
- Ernest Cassirer: manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
Demikianlah
disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang berupa filsafat. Dari
contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut dari ilmu (Hasil
pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi ilmu). Di sinilah
batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya ia tidak akan dapat menjawab
pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai manusia. Dengan akalnya, manusia
hanya mampu memberi jawaban dalam batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan
pendapat Immanuel Kant dalam Kritiknya terhadap rasio yang
murni, yaitu manusia hanya dapat mengenal fenomena belaka, sedang
bagaimana nomena-nya ia tidak tahu. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka yang dapat menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai manusia adalah agama;
misalnya, tentang pengalaman apa yang akan dijalani setelah seseorang meninggal
dunia. Jadi, sesungguhnya filsafat tidak hendak menyaingi agama. Filsafat tidak
hendak menambahkan suatu kepercayaan baru. Bertrand Russel
mencatat August Comte pernah mencobanya, namun ia gagal.
"Dan ia patut bernasib demikian," demikian Russel.
Selanjutnya,
filsafat dan ilmu juga dapat mempunyai hubungan yang baik dengan agama.
Filsafat dan ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada
manusia. Filsafat membantu agama dalam mengartikan (menginterpretasikan)
teks-teks sucinya. Filsafat membantu dalam memastikan arti objektif tulisan
wahyu. Filsafat menyediakan metode-metode pemikiran untuk teologi. Filsafat
membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru. Misalnya, mengusahakan
mendapat anak dengan in vitro fertilization ("bayi tabung")
dapat dibenarkan bagi orang Kristen atau tidak? Padahal Kitab Suci diam seribu
bahasa tentang bayi tabung. Filsafatlah, dalam hal ini etika, yang
dapat merumuskan permasalahan etis sedemikian rupa sehingga agama dapat
menjawabnya berdasarkan prinsip-prinsip moralitasnya sendiri.
Sebaliknya,
agama dapat membantu memberi jawaban terhadap problem yang tidak dapat
dijangkau dan dijawab oleh ilmu dan filsafat. Meskipun demikian, tidak juga
berarti bahwa agama adalah di luar rasio, agama adalah tidak rasional.
Agama bahkan mendorong agar manusia memiliki sikap hidup yang rasional:
bagaimana manusia menjadi manusia yang dinamis, yang senantiasa bergerak, yang
tak cepat puas dengan perolehan yang sudah ada di tangannya, untuk lebih
mengerti kebenaran, untuk lebih mencintai kebaikan, dan lebih berusaha agar
cinta Allah kepadanya dapat menjadi dasar cintanya kepada sesama sehingga
bersama-sama manusia yang lain mampu membangun dunia ini.
Dengan
cara menyadari keadaan serta kedudukan masing-masing, maka antara ilmu dan
filsafat serta agama dapat terjalin hubungan yang harmonis dan saling
mendukung. Karena, semakin jelas pula bahwa seringkali pertanyaan, fakta atau
realita yang dihadapi seseorang adalah hal yang sama, namun dapat dijawab
secara berbeda sesuai dengan proporsi yang dimiliki masing-masing bidang
kajian, baik itu ilmu, filsafat maupun agama. Ketiganya dapat saling menunjang
dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam kehidupan.
Demikianlah
pemahaman yang kita miliki sekarang mengenai terminologi "filsafat"
dan kedudukannya di antara ilmu dan agama.