Diskusi Filsafat Islam: Untuk Pemula

filsafat dan islam. Hubungan keduanya adalah hubungan kualifikatif. Islam disini mengkualifikasikan filsafat. Jika filsafat adalah disiplin ilmu yang bercorak radikal (baca: menyentuh akar persoalan) dalam hal pemikiran, esensialis dan universal, maka islam disini memberikan kualitas (baca: memberikan nilai) islami bagi filsafat[1] 

Pengertian ini menjadi konsekuensi logis jika filsafat di dalam Islam dipandang sebagai sesuatu yang asing dan berasal dari luar (bisa Yunani, bisa Persia, Mesopotamia dll). Tapi jika filsafat diartikan sebagai buah pikiran dari suatu sistem budaya tertentu, sebagaimana kita bisa menyebut filsafat Cina, filsafat India, filsafat Barat dsb, maka Islam itu sendiri dalam ranah ide/gagasan/ajaran dan doktrinnya bisa disebut filsafat Islam.

Tapi kemudian dalam perkembangan selanjutnya kita dapati kecenderungan mensintesiskan pengertian model pertama dan kedua untuk menarik jawaban bagi pertanyaan “apa itu filsafat Islam?”. Biasanya perspektif yang digunakan adalah perspektif antropologis dalam bingkai pendekatan historis. Maksudnya, filsafat Islam muncul, tumbuh dan berkembang secara menyejarah sebagai otak dari budaya Islam (tepatnya: Islamic Civilization).

Prof. Harun Nasution agaknya menggunakan pengertian filsafat Islam model kedua. Katanya “semua nabi, -termasuk Muhammad, adalah Filsuf” (lih. “Falsafah dan Mistisisme dalam Islam”). Sedangkan kalangan orientalis diantaranya ada yang menyimpulkan bahwa filsafat Islam tak ubahnya copy-paste dari filsafat Yunani. Ini ada benarnya jika pembacaan historis-antopologis diterapkan secara gebyah uyah.

Biasanya Copy-paste itu dijelaskan dengan menunjuk pada tebalnya nuansa filsafat Yunani, dari sisi tendensi rasionalistiknya. Lebih kongkret lagi, logika Aristotelian yang diadopsi oleh para pemikir Islam awal. Kita mengenal al-Kindi, misalnya, sebagai peletak dasar terminologi filsafat Islam. “Causa Prima” dalam filsafat Yunani di-”Islam”-kan dengan “as-Sabab al-Awwal” atau ada juga “al-Wajibul Wujud”, “al-Manthiq” (silogisme Aristotelian, logika) dan sebagainya.

Dari sisi ini bisa dikatakan filsafat apapun semuanya bersifat copy-paste. Karena metode skeptisisme Descartes pun meng-copy paste kata-kata al-Gazels (al-Ghazali, red) di dalam “al-Munqidz minad Dlalal”-nya: “meragukan adalah salah satu jalan memperoleh kepastian”. Dan memang Descartes mendapatkannya dari buku al-Gazels itu, yang disimpannya di perpustakaan pribadi.

Contoh lagi, sekularisme Barat sebagai derivasi dari semangat pembebasan Nalar dari hegemoni gereja “meletup” dari Averosian Latin (pengikut Imam ibn Rushdi di kawasan Eropa Latin) yang mengusung bendera “Double-Truth” (teori “Kebenaran-Ganda”-nya Sang Imam yang muslim itu). Apakah bisa dikatakan filsafat Barat Modern, yang lahir dari revolusi Renaissance, copy-paste dari filsafat Islam, tepatnya Averosianisme?

Hal-hal semacam itu sudah wajar jika pada kenyataannya ada hubungan kultural yang melibatkan banyak budaya. Tak ada perkembangan historis yang signifikan jika satu budaya menutup diri dari hubungan dengan budaya lain. Maka filsafat Islam, yang pada dasarnya berkisar di seputar Wahyu (Revelation-centris), menjadi berkembang seturut kian instensifnya persinggungan kultural dengan budaya-budaya, seperti Hellenis (Yunani “timur”), Persia, Mesopotamia-Syiria, Aramaik dan sebagainya.

Kalau mengikuti temuan Abed al-Jabiri, ada tiga Nalar yang dikembangbiakkan dalam filsafat Islam: Nalar Bayani, Nalar Burhani, dan Nalar Irfani[2]. Ketiganya muncul di bawah pengaruh corak budaya yang selama ini mengitari Islam Arab. Bisa dikatakan, Nalar Bayani dikondisikan oleh budaya syair dan tulisan, sifatnya tekstualis. Ini khas Arab banget.

Nalar Burhani bersifat demonstratif, bertumpu pada pembuktian rasional. Ini terkondisikan lewat intensifnya hubungan dengan Aristotelism di daerah-daerah Hellenis timur. Kedua Nalar ini terlibat dalam dialektika sengit, sehingga kita pernah dengar cerita bahwa ahli Nahwu tak pernah tidur tenang disamping ahli Manthiq[3]

Nalar ketiga, Nalar Irfany, muncul dalam filsafat Islam setelah persinggungan intensifnya dengan budaya Persia dan India yang coraknya mistis. Filsuf Islam yang berhasil menanamkan nalar ini dalam kesadaran kolektif umat Islam adalah Imam Gazali, dimana Mistisisme timur di-satu-nafas-kan dengan ajaran Islam. Ketiga Nalar inilah yang menjadi otak bagi transformasi peradaban Islam.

Sehingga kita kemudian mengenal mazhab filsafat Islam “Peripatetisme”, yang disinyalir mengacu pada warisan Aristotelianisme, tapi menggunakan prinsip-prinsip Neo-Platonis. Peripatetisme diusung oleh “KFS” (al-Kindi, al-Farabi, dan ibn Sina) dimana proyeknya tak jauh dari upaya awal mengharmoniskan filsafat Yunani dari Sang Guru Pertama (Aristotle) dengan doktrinase Islam. Aliran ini banyak bicara soal epistemologi (Aristotelian) dan sedikit Ontologi (Neo-Platonian).

Kita kenal pula “Mistisisme” sebagai aliran filsafat Islam yang dibesarkan oleh para sufi-sufi filosof, seperti Al-Ghazali, ibn al-Araby, al-Hallaj dan sebagainya. Anehnya, aliran ini lebih banyak bicara tentang metafisika dan ontologi dengan tilikan Transendentalisme. Ia punya metode epistemologi “aneh”: pengalaman langsung tanpa medium (representasi rasional) akan kehadiran Kebenaran. Al-Ghazali menyebutnya “Mukasyafah”, yang oleh ibn al-Araby ditulis dengan istilah “al-Futuhat”. Penjelasannya rumit, bahkan butuh tema tersendiri.

Ada juga kita kenal aliran Illuminasionisme (al-Isyraqiyyah) yang dikibarkan benderanya oleh Suhrawardi. Dikatakan, aliran yang satu ini dipermak dari sintesis antara Peripatetisme dan Mistisisme. Umumnya pegiat aliran ini berlatar belakang Muslim Syiah, sehingga periode selanjutnya lahir “anak kandung”-nya “filsafat Hikmah” yang dibesarkan oleh Mulla Shadra. Shadra sendiri menyebut filsafatnya dengan “al-Hikma al-Muta’aliyah” (Transcendental Wisdom), ia seorang Syi’i juga.

Kata Muhammad Iqbal: filsafat Islam ibarat matahari…ketika tenggelam di Barat, ia terbit di Timur. Maksud pengagum Nietszche itu, setelah Ibn Rushdi (lahir di Cordova, Spanyol) mangkat, filsafat Islam bangkit di belahan timur Dunia Islam, yakni Persia. Aliran filsafat Islam yang dapat tumbuh subur dan compatible dengan budaya Persia dan Syi’ah adalah Illuminasionisme dan Filsafat Hikmah Mullah Shadra. Ketika hari ini filsafat Islam dihindari kalangan Ortodoks, di Iran 2 aliran itu masih dipelajari secara tradisional di Hauzah-hauzah (semacam pesantren).

Barangkali ini hanya kilas balik yang tentu saja parsial sifatnya. Ada kompleksitas di dalam membicarakan filsafat Islam, karena ada tumpang tindih antara satu hal dengan hal lain. Ada faktor kekuasaan yang bermain disana. Pertentangan-pertentangan banyak menghitamkan wajah kronologis perkembangan filsafat Islam. Sehingga wajar kalau Adonis (Ali Ahmad Said, budayawan Arab kontemporer) menyebut pertentangan itu bukan pertentangan dialektik, melainkan konfrontatif antara ats-Tsabit (Yang Mapan) dan al-Mutahawwil (yang berubah). Sikap Wahyu-centris ortodoks hampir selalu memaksakan dominasinya atas sikap Nalar-centris.

Menjadi wajar jika pada perkembangan selanjutnya diskursus filsafat Islam kontemporer diramaikan dengan tema-tema seputar bagaimana menyandingkan antara Tradisi dan Modernitas (yang baru, berubah). Antara Ortodoksi dan pembaharuan. Arkoun menulis “Naqdul ‘Aql al-Islami” (Kritik Nalar Islam), Abed al-Jabiri melancarkan “Naqdul ‘Aql al-Araby” dan Ali Harb dengan Kritik Nalar-Teks. Belum lagi Nasr Hamid Abu Zaid melalui “Naqdul Khithob ad-Diny” (Kritik Wacana Agama) menandaskan: umat Islam kehilangan sisi historisitas Qur’an saat membacanya sebagai “teks”. Tak ayal ia dikafirkan oleh kalangan Ortodoks Mesir.

Wallahu a’lamu bis Shawab…


ditulis oleh Muhammad Tijany


[1] Tatanan nilai dalam filsafat Islam tentu saja dari Islam sendiri. Karena kata Habermas, tak ada pengetahuan yang bebas nilai, selalu ada kepentingan atau tendensi-tendensi tertentu, ada tatanan nilai yang inhern di dalamnya. Filsafat Islam adalah “proses” dan “produk” kontekstualisasi filsafat sebelumnya, yang asing, yang gak islami ke dalam lahan sejarah “Arab-Islam”. Persis Pribumisasi Islam oleh Wali Songo di tanah Jawa.
[2] 3 Nalar itu “terbentuk” karena adanya faktor eksternal. Pemikiran mengenai “Nalar bentukan” ini tak bisa dijelaskan dalam perspektif Kantian, dimana Nalar dipahami sebagai fakultas yang inhern di dalam diri manusia, sifatnya “fitrah”, kategori-kategori apriori-nya sudah “dari sono”nya, independen dari segala sesuatu yang sifatnya partikular dan faktual. Tapi Lalande, filsuf Perancis (kalau tak salah sih!) yang menginspirasikan metodologi bagi Abed al-Jabiri, menyebutkan bahwa Nalar juga “terikat kontrak” dengan kenyataan eksternal. Dengan kata lain, kehidupan budaya dapat membentuk Nalar. Istilah yang dipakai Abed “al-Aql al-Mukawwan” atau “Constructed Reason”. Lih. “Kritik Nalar Arab”, Ircisod, hlm. … (lupa!)
[3] Bisa dikatakan, produk Nalar-demonstratif Yunani adalah ilmu logika formal (disistematisir awal kali oleh Aristotle), sedangkan produk kebanggaan Nalar-Bayani Arab adalah ilmu Nahwu (gramatika, red). Disatukannya 2 karakter yang berbeda diatas, di dalam Islam, menghasilkan disiplin ilmu Ushul al-Fiqh (prinsip Yurispruden Islam) oleh seorang yang mendapatkan julukan Aristotelesnya Arab “Imam a-Syafi’i”. Hemat saya, Ushul Fiqh inilah ilmu agama tradisional yang paling “canggih.”


Sumber: Filsafat Kita