Bagaimana Aristoteles Menjelaskan tentang Tuhan ?
“Gerak” telah banyak diperbincangkan baik
dalam fisika maupun metafisika, dari pandangan fisika “gerak” adalah
sebuah fenomena alami sedangkan dari pandangan para filosof ilahi dan
metafisika “gerak” adalah sebuah bentuk eksistensi, dari sini dapat
dikatakan: pembahasan gerak, pada era ini merupakan salah satu titik
temu antara fisika dan filsafat. Para ilmuwan kuno telah pula melakukan
pembahasan bab gerak ini dalam masalah natural dan juga dalam masalah
theology dengan makna umum dan khusus.
Haruslah dicermati adanya pembauran antara hukum-hukum filosofi gerak dengan hukum-hukum ilmiah (eksperimen)-nya, baik dalam pembauran keduanya dengan sesamanya dan kesimpulan deduktif filosofis dari prinsip ilmiah ataupun sebaliknya, karena hal ini banyak diikuti oleh kerusakan yang merugikan terutama untuk kalangan para pemula dan mereka yang belum matang-. Immuniti dari bahaya pembauran ini berada pada lingkup pengetahuan atas batasan fisika dan filsafat. Pada tempatnyalah, apabila para filosof ilahi mempunyai metodologi yang matang dalam pembahasan fisika tentang gerak ini, dan para pelajar serta peneliti fisika pun melakukan pengamatan dan observasi yang cermat dan teliti dalam pembahasan tema filsafat yang satu ini.
Warna dari pembicaraan kita dalam tulisan
ini lebih merupakan warna filosofi dari pada eksperimen (ilmiah). Titik
perhatian kami adalah pada analisa teori penggerak awal (prime mover) Aristoteles.
Teori “Prime-mover” (penggerak awal) Aristoteles
Pembahasan akan kami mulai dari tema
“esensi sesuatu” dan kami akan menyajikan uraian pertama tentang teori
penggerak awal yang dinisbatkan kepada Aristoteles. Menurut pendapat Aristoteles untuk menemukan sebab, khususnya untuk menemukan sebab
gerak, maka kita harus berhenti pada suatu tempat, dan pada selain
keadaan ini tidak akan ada penyebab dari sesuatupun yang bisa ditemukan
secara pasti. Hanya harus dilihat di mana kita harus berhenti. Jawaban
untuk pertanyaan ini akan ditemukan melalui tafakkur dan kontempelasi
tentang gerak. Apabila sebab dari sebuah gerak kita hadirkan melalui
gerak lainnya, maka keniscayaan yang akan muncul adalah bahwa gerak
kedua akan kita dapatkan melalui gerak ketiga dan gerak ketiga melalui
gerak keempat dan demikian seterusnya hingga rangkaian ini akan
berlanjut terus tanpa akhir. Jadi apabila kita ingin mendapatkan alasan
yang pasti, maka kita harus melihat ke dalam majemuk gerak, bukan pada
pengaruh sebuah penggerak yang digerakkan melainkan pada sebuah
penggerak yang tak digerakkan, ringkasnya kita hendaknya melihat pada
sebuah “penggerak yang berhenti”.
Akan tetapi kita mengenal sebuah keadaan
dimana dalam keadaan tersebut, gerak secara inderawi dilahirkan melalui
proses sebuah “penggerak yang berhenti” dan penggerak tersebut adalah
cinta yang muncul melalui sebuah kecantikan. Seseorang yang telah
menjadi pecinta akan terseret ke arah yang dicinta, hal ini disebabkan
yang dicintai itu telah menarik perhatian pecinta ke arahnya, akan
tetapi obyek yang dicintai bukan hanya untuk menggerakkan pecintanya
saja sehingga dia tidak memberikan gerakan pada dirinya, melainkan
terdapat banyak kemungkinan dimana dia pun tidak sadar dengan
kewujudannya. Inilah sebuah gambaran yang menurut perkiraan Aristoteles
telah memberikan kefahaman sebab gerakan yang telah membuat dunia
bergerak, dan karena gerakan semcam ini ada, maka harus terdapat pula
penggerak yang berhenti yang menjadi tempat kebergantungan semuanya dan
penggerak tersebut adalah Tuhan.
Kedua uraian di atas sebagaimana yang
telah Anda perhatikan secara eksternal saling berbeda antara satu dengan
lainnya. Pada uraian pertama, penggerak awal diungkapkan sebagai
pecinta, akan tetapi pada uraian terakhir penggerak awal diungkapkan
sebagai yang dicintai yaitu sesuatu yang terbatas. Dalam kelanjutan
pembahasan, kami akan kembali pada point tersebut sekaligus mencoba
melakukan analisa dan evaluasi terhadap perangkat dari setiap kedua
uraian.
Syeikh Ar-Rais Ibn Sina sebagai penjabar
teori Aristoteles, pada kitab “Ilahiyat Shifa” mengetengahkan pembahasan
tentang penggerak awal yang dia namakan sebagai sesuatu yang dicintai ,
kebaikan hakiki, puncak kebaikan, sebab pertama dan penggerak pertama
dan universal.
Para ahli sejarah Filsafat dalam
menukilkan dan menginterpretasikan pendapat Aristoteles tentang
penggerak awal kira-kira sepakat pada point berikut bahwa dia
(Aristoteles) tidak menganggap Tuhan sebagai sebuah penggerak dan power
mekanik. Aristoteles berkata: Gerak secara pasti memiliki prinsip, dan
apabila kita tidak ingin memasuki sebuah interkoneksi (tasalsul) yang
melelahkan yang membawa masalah kembali ke belakang selangkah demi
selangkah tanpa akhir, maka kita harus menerima adanya sebuah penggerak
awal yang tak digerakkan (primum mobile immontum) atau penggerak hakiki
sebagai sebuah prinsip yang tegas...Tuhan bukanlah pencipta, melainkan
penggerak alam, dia memut ar alam tidak sebagai sebuah kekuatan mekanik,
melainkan sebagai sebuah illatul illal (the first cause) dari semua sumber, aktivitas dan perilaku alam. “Tuhan memutar dunia ini sehingga yang dicintai menjadi pecinta.
Aristoteles sepakat bahwa kinetik sebagai
sebuah relefansi muncul lebih awal dari kekuatan, hal ini dikarenakan
“kinetik” merupakan tujuan akhir dari kekuatan, dan Tuhan telah
diungkapkan sebagai kinetik sempurna, dan berkata: Tuhan sebagai prinsip
eternal gerak dan peletak prinsip dari energi ke aktual, harus
merupakan sebuah kinetik yang sempurna, yaitu berupa penggerak awal yang
tak digerakkan ...penggerak awal yang tak digerakkan atau penggerak
hakiki yang merupakan sebab akhir dari setiap prinsip gerak, merupakan
sebab akhir menjadi kinetiknya energi, yaitu sebab dari kenapa kebaikan
bisa dilahirkan.
Kalimat-kalimat yang perlu mendapat
perhatian antara lain adalah yang dimaksud oleh Aristoteles dalam sifat
“Awal” untuk Tuhan bukanlah keawalan dalam pengertian temporal. Menurut
pendapat Aristoteles gerak secara urgensi dan dharuri adalah abadi dan
tanpa permulaan. Dari sini perkataan “Awal” menurutnya adalah
“Superior”.
Setiap gerak dan setiap perpindahan dari
potensi ke aktual meniscayakan pada mabda bil fi’il (pemula aktual),
akan tetapi apabila setiap benda bergerak mengharuskan adanya sebuah
sebab penggerak aktual, maka dunia secara universal akan meniscayakan
adanya sebuah “penggerak awal”, akan tetapi penting untuk memperhatikan
poin berikut bahwa kata “awal” tidak boleh difahami sebagai pengertian
temporal, karena menurut pendapat Aristoteles secara urgensi gerak itu
abadi. Lebih baik kiranya apabila kata “Awal” difahami saja sebagai
“’Superior” yang maksudnya adalah penggerak awal sebagai prinsip
eternaliti, yaitu merupakan gerak yang abadi dan eternal. Menurut
pendapat Aristoteles, apabila Tuhan sebagai sebab aktual fisik, berarti
dia akan merupakan sebab gerak dan dengan istilah lain, dia mengemudikan
alam dalam keadaan tersebut diapun akan menerima terjadinya perubahan
yaitu reaksi dari yang digerakkan atas penggerak telah mempengaruhinya,
oleh karena itu dia harus sebagai sebab akhir, yang menjadi pelaku
melalui keinginan itu sendiri.
Arsitoteles dalam kitab “Metafisika”
menunjukkan bahwa pemula penggerak ini harus merupakan aktual murni
yaitu energi tanpa sedikitpun potensi.
Tentang Tuhan terkadang dia menganggapnya
sebagai penggerak awal yang tak digerakkan dan terkadang pula dia
menggunakan kata Tuhan itu sendiri.
Penggerak yang tak digerakkan (penggerak
hakiki), bukan maddah (bahan, zat) dan bukan materi Gerak, meniscayakan
potensi dan kapabilitas dan keduanya ini bersumber dari maddah, oleh
karena itu pada tempat dimana ada gerak, berarti ada maddah di sana, dan
pada tempat dimana tidak ada gerak berarti tidak ada maddah pula.
Aristoteles sepakat: karena tujuan setiap benda di alam ini adalah untuk
mencapai keadaan bentuk murni, dengan demikian harus terdapat sebuah
eksistensi aktual yang merupakan akhir dari setiap perubahan atau gerak.
Eksistensi ini dinamakan sebagai “penggerak tak digerakkan”, meskipun
dia tidak menerima sedikitpun kemungkinan terjadinya perubahan dan
transformasi karena dia sama sekali tidak tergolong dalam materi
sehingga karena itulah dia tidak mempunyai kapabilitas sedikitpun
sebagai dalil dan sebab gerak segala sesuatu di alam semesta. Dengan
demikian melalui cinta terhadap kesempurnaan dalam bentuk murni-lah
sehingga alam natural melanjutkan gerak dan perjalannya yang tanpa
akhir”.
Harus diperhatikan bahwa dalam metode
“Metafisika” nya Aristoteles, penggerak tak digerakkan sama sekali tidak
akan pernah turun dari sifat dan posisi ini, karena
eksistensi-eksistensi bergerak sama sekali tidak akan pernah sampai pada
tingkatan bentuk dan kinetik murni, oleh karena itu senantiasa dalam
usaha dan upaya dan sama sekali juga tidak akan pernah sampai pada
tujuan lebih jauh tersebut. Dari sinilah penggerak senantiasa penggerak
dan yang digerakkan pun senantiasa merupakan obyek yang digerakkan.
Premis teori gerak dan perbedaannya dengan teori-teori lainnya
Untuk lebih menjelaskan adanya kelebihan
teori gerak atas teori-teori lainnya seperti teori keteraturan, teori
huduts, wujub-imkan, dan teori sebab-akibat, hal ini mengharuskan kami
untuk lebih cermat dan lebih jeli dalam menanggapi premis-premis teori
ini serta prinsip middle term-nya.
Allamah Syahid Muthahari (ra) menuliskan: Teori penggerak awal terdiri dari lima prinsip pokok:
1. Gerak, membutuhkan penggerak,
2. Penggerak dan gerak keduanya adalah bersamaan secara temporal, yaitu mustahil terjadi pemisahan waktu di antara keduanya,
3. Setiap penggerak, mungkin digerakkan dan mungkin konstan,
4. Setiap eksistensi jasmani akan berubah dan digerakkan,
5. Gradasi interkoneksi (tasalsul) tanpa batas adalah mustahil.
Ayatullah Taqi Misbah Yazdy dalam
uraiannya atas kitabnya allamah Thabathbai Nihayatul Hikmah
mengungkapkan empat premis untuk teori gerak, sebagai berikut: Argumen
gerak bersandar pada empat asas :obyek gerak membutuhkan penggerak,
penggerak harus berakhir pada sesuatu yang tidak bergerak, sesuatu yang
non materi bukanlah obyek gerak, mata rantai sesuatu non materi harus
berakhir pada wajib al wujud.
Harus diketahui bahwa gerak adalah
semacam bentuk perubahan dan tidak setara dengan perubahan mutlak. Gerak
merupakan perubahan bertahap, dan dalam teori gerak perubahan tidak
diperhatikan dari sisi kejadiannya, karena dalam keadaan ini berarti,
pertama: tidak akan ada perbedaan antara perubahan seketika dengan
perubahan bertahap (gerak), kedua: teori gerak pasti akan kembali kepada
teori hudust (dari tiada menjadi ada). Demikian juga harus dicermati
bahwa penegasan dalam teori gerak ini tidak diletakkan pada keharmonisan
dan keteraturan gerak langit dan seluruh gerakan lainnya, karena dalam
keadaan ini teori gerak akan kembali pada teori keteraturan.
Dan juga harus diperhatikan bahwa yang
menjadi point pembahasan gerak dalam teori ini bukanlah dari sisi
kemungkinannya dan kebutuhannya terhadap wajib, karena hal ini akan
berarti tidak ada perbedaan antara perubahan bertahap (gerak) dengan
perubahan seketika, karena keduanya merupakan wujud-wujud possibel yang
membutuhkan wajib.
Dalam teori gerak, prinsip keberadaan
gerak di alam natural adalah jelas dan nyata. Apabila seseorang
mengingkari prinsip ini-sebagaimana yang dilakukan oleh filosof
Paramandise dkk, maka hal tersebut akan membuat torehan pada teori ini,
akan tetapi pengingkaran semacam ini untuk teori-teori seperti teori
keteraturan, hudust, imkan-wujub, sebab-akibat, tidak akan memberikan
goresan apapun. Oleh karena itu untuk memisahkan teori gerak dari
teori-teori lainnya, harus kita perhatikan bahwa dalam teori ini middle
termnya adalah “perjalanan benda secara bertahap dari potensi ke
aktual”, dan bukan sesuatu yang lain, dan gerak baik sebagai persepsi
mandiri atas asumsi penggerak ataupun sebagai gerak yang posisinya
terletak dibawah persepsi mumkin atau akibat, merupakan sebuah persepsi
filosofi, oleh karena itu midle term teori gerak ini adalah middle term
yang filosofi, dan oleh karena itu teori gerak tidak bisa hanya
dinamakan sebagai teori alami atau bertahap. Bukanlah Aristoteles dalam
definisi geraknya mengatakan: “Gerak merupakan kesempurnaan pertama
untuk sesuatu yang potensi, dari sisi kepotensiannya”
Tanpa ragu lagi perspesi seperti
kesempurnaan, pertama dan potensi merupakan persepsi filosofis dan bukan
persepsi dari kelompok ilmu alam, oleh karena itu perlu ditinjau
kembali apabila kita mengatakan: “Aristoteles membahas teori ini dalam
kapasitasnya sebagai seorang ahli ilmu alam bukan dari kapasitasnya
sebagai seorang filsosof ilahi” tentu saja tidak ragu lagi bahwa gerak
merupakan fenomena alami akan tetapi pembahasan hukum-hukum gerak
merupakan pembahasan rasional dan filosofi. (diperhatikan)
Ayatullah Jawadi Amuli, pada pasal kedua dari makalah “teori gerak” -nya menuliskan:
“Pembahasan dalam eksistensi gerak, merupakan partikulasi dari filsafat ilahi yang membahas mulai dari prinsip eksistensi hingga terlahirnya benda, .... akan tetapi pembahasan gerak dalam ilmu alam menjelaskan gerak sebagai sebuah fenomena khusus pada substansi tertentu, yaitu gerak pada ilmu alam membahas tentang apakah fulan substansi mempunyai kepadatan gerak ataukah tidak, bagaimanakah cara dia bergerak serta apa tujuannya, akan tetapi tidak membahas fenomena lain yang tidak berada dalam lingkup pembahasannya. Dan secara global pembahasan tentang apakah gerak ada di alam semesta ini ataukah tidak, dengan mengesampingkan substansi-substansi tertentu, berada di luar institusi ilmu alam melainkan berada dalam batasan pembahasan murni filosofi, ..... dan karena pembahasan kita sekarang adalah tentang wujud gerak sebagai sebuah pembahasan filosofi murni, maka hal ini harus dilakukan dengan memanfaatkan metode-metode khusus itu sendiri yang dalam filsafat ilahi dipergunakan untuk membuktikan eksistensi benda, lalu meletakkan inovasi ilmu alam sebagai saksi dan penegas, karena inderawi maupun deduksi tak satupun ada yang mampu membuktikan hakekat gerak dengan makna mendalam sebagaimana yang telah ditafsirkan, dan menjelaskan kemunculannya obyek luar.
Ringkasnya tidak satupun dari
kesinambungan, tahapan, perjalanan dari potensi, lepasnya dari potensi
dan sampainya pada aktual dan kesempurnaan wujud, tidak akan terindera
oleh salah satupun dari panca indera dan ilmu yang perangkatnya adalah
indera dan deduktif, tidak akan mempunyai kemampuuan untuk membuktikan
hal-hal yang non inderawi dan diapun tidak mempunyai hak untuk
mengingkarinya”.
Mulla Sadra (ra) sendiri dalam kitab
Asfar-nya pun mengatakan bahwa gerak dan diam merupakan sebuah masalah
yang tidak bisa difahami dengan indera, melainkan indera hanyalah
sebagai penentu dan sahabat akal dalam memahami mereka.
Saksi lain yang menyatakan bahwa teori
gerak merupakan sebuah teori filsafat murni dan bukannya sebuah teori
eksperimen adalah bahwa “gerak” sama sekali tidak bisa dikatagorikan
atau istilahnya tidak termasuk dalam kelompok mahiyat (esensi) dan akal
pertama, melainkan termasuk ke dalam akal kedua filsafat dan oleh karena
itu pembahasan yang berkaitan dengan masalah tersebut berada dalam
institusi hikmah ilahi.
Apakah penggerak pertama merupakan wajibul wujud?
Sheril Warner menuliskan: pemutar pertama
tanpa putaran ini adalah wujud abadi, hal ini terjadi karena gerak yang
terlahir darinya adalah abadi, dia juga mempunyai kesempurnaan menyatu
karena gerak yang dimunculkan merupakan gerak yang koheren dimana
koheren meniscayakan pada kebersatuan, akan tetapi menganggap wahidnya
pemutar pertama adalah tidak mencukupi. Pemutar pertama mempunyai bagian
yang tak bisa diterima pula yaitu dia tidak mempunyai jumlah. Pada
hakekatnya dia tidak bisa pula mempunyai jumlah, karena pemutar yang
melakukan geraknya secara abadi dan mutlak tidak bisa merupakan akibat
dari yang terbatas, akan tetapi pemutar ini bukan merupakan jumlah tak
terbatas, karena di dalam alam riil sama sekali tidak ada wujud yang tak
terbatas, dengan demikian pemutar tidak mempunyai jumlah dan pada
prinsipnya mempunyai bagian yang tak bisa diterima, karena tidak ada
jalan untuk berubah, maka dia tidak bisa menjadi sesuatu kecuali apa
yang ada dan wajib wujud adalah mutlak. Pada tempat yang lain lagi dia
menuliskan: Penggerak pertama, yaitu wujud sempurna yang telah menarik
alam ke arahnya ini adalah apa yang disebut oleh para filosof sebagai
Tuhan, dengan demikian penggerak pertama yang tak bergerak ini merupakan
bentuk murni, sebuah wujud yang secara mutlak non materi dan bernama
Tuhan.
Bertolak belakang dengan pendapat Sheril
Warner ini, sebagian sepakat bahwa teori penggerak pertama Aristoteles
tidak mampu membuktikan keberadaan Tuhan, dan wajibul wujud serta
penggerak tak digerakkan tidak relefan atas wajibul wujud karena bisa
saja penggerak tak digerakkan ini merupakan wujud selain Tuhan.
Murtadha Muthahari (ra) dalam
footnote-nya atas Usul Falsafah wa Rawaz-e Realism menuliskan: dengan
memperhatikan bahwa teori ini secara analogi tidak membuktikan wajibul
wujud melainkan hanya membuktikan sesuatu yang metafisik, maka kami
menghindari penjelasan yang lebih lanjut.
Ustadz ‘Alamah Jawadi Amuli (damu ‘izzah)
dalam sharh Asfar menuliskan: dalam teori gerak, penggerak tak
digerakkan-lah yang terbukti bukannya wajibul wujud.
Di antara mereka, ahli kalam bernama Imam
Fahrur-Razi mempunyai pendapat yang relevan dengan apa yang dikatakan
oleh Sheril Warner. Dia berkata:
Para naturalis berargumentasi atas wujud
Tuhan dengan metodologi gerak yang mendasarkan pada hal berikut bahwa
pada hakekatnya gerak akan berakhir pada penggerak tak digerakkan dan
penggerak yang dirinya tak digerakkan mewajibkan untuk memiliki apa yang
mungkin terlahir dalam haknya, dan eksistensi semacam ini secara lazim
adalah wajibul wujud”.
Berkaitan dengan teori ini, dalam tafsir
Imam Fahrur Razi, terdapat discourse tentang penggerak tak digerakkan
dimana pada saat yang bersamaan dia sepakat pula bahwa penggerak tak
digerakkan adalah wajibul wujud. Dengan memperhatikan bahwa wajibul
wujud adalah esa dan pluralitas wajibul wujud merupakan hal sesuatu yang
mustahil, dengan demikian maka harus terdapat penjelasan lain untuk
para pengklaim ini.
Kebalikan dari Fahrur Razi, teolog
ternama dan filosof terkenal bernama Abdul Razak Lahijy (ra) dalam kitab
Shawariq-nya mengatakan bahwa teori gerak tidak bisa membuktikan
wajibul wujud secara dzat.
Dalam tingkatan penghakiman atas
pendapat-pendapat yang plural ini, ada baiknya apabila sebelumnya
diperjelas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “gerak” di sini.
Apabila yang dimaksud dengan “gerak” adalah perjalanan bertahap sebuah
benda dari tingkat potensi menuju aktual, yang hal ini hanya bisa
digambarkan pada materi, maka “penggerak tak digerakkan” di sini bisa
merupakan salah satu dari possible-possible abstrak--mufaraqat
bil-kuliyyah (paradoks secara universal) dan secara lazim penggerak tak
digerakkan pasti bukan wajibul wujud. Dan mereka yang mengatakan bahwa:
teori penggerak pertama Aristoteles tidak bisa membuktikan wajibul
wujud, bisa jadi maksud mereka adalah point ini.
Akan tetapi apabila “gerak” kita artikan
dengan makna luas, selama menjadi eksisnya dan hudust-nya
possible-possible kita anggap pula sebagai manifestasi-manifestasi yang
muncul dari gerak, dan hal tersebut kita namakan sebagai perjalanan dari
tiada kepada ada, maka dalam keadaan ini penggerak tak digerakkan tidak
akan relefan kecuali untuk wajibul wujud bil-dzat, karena keseluruhan
sesuatu selain realitas wujud Nya akan mempunyai makna penggerak seperti
di atas, dan wujud yang mempunyai makna tidak benar dalam perjalanannya
dari tiada ke ada hanyalah wajibul wujud bil-dzat.
Mulla Sadra menamai: “menjadi eksisnya
esensi possible” dengan “gerak dzatiyah” dan berkata: dalam eksistensi
semacam ini, aktual muncul setelah potensi, etrë setelah non-etrë dan
wujud muncul setelah tiada, yaitu eksistensi-eksistensi mumkin, tidak
mempunyai eksistensi dalam tingkatan dzat dan middle mahiyah dan mereka
akan menjadi eksis dengan perantaraan wajib, dan dalam inovasi semacam
ini seakan-akan perjalanan dilakukan dari tiada ke ada.
Mulla Sadra (ra) mengatakan: perjalanan
semacam ini juga merupakan salah satu bentuk dari gerak, karena
transformasi dan perjalanan yang ada dalam empat akal terkenal
(quantity, quality, place and position) merupakan gerak temporal, dan
sebagaimana yang berlaku dalam gerak temporal dimana yang digerakkan
membutuhkan adanya transformasi dan penggerak, maka dalam gerak dari
tiada ke wujud ini pun membutuhkan adanya sebuah penggerak yang dirinya
sendiri tidak mempunyai gerakan dan transformasi semacam ini, dan dia
adalah wajibul wujud.
Ayatullah Jawadi Amuli dalam komentarnya
atas kitab Asfar, menganggap perkataan Mulla Sadra (ra) ini sebagai
pengecualian dan mempunyai makna terminologi lain dan mengatakan: apa
yang ada dalam kitab “mabda’ dan ma’ad” yang berkaitan dengan
terlahirnya gerak dalam mujaradad (alam abstraks) merupakan sebuah
penjelasan yang berbeda dan mempunyai makna terminologi lain, karena
secara istilah “abstrak-abstrak” yang berasal dari imkan dzati dan
mengalami transformasi ke wujub selainnya- tidak dikatakan sebagai “yang
digerakkan”. Meskipun dengan makna yang ringan bisa dikatakan bahwa
disanapun terdapat gerak, akan tetapi bagaimanapun juga alam abstrak
dinamakan sebagai alam konstan.
Apabila gerak -meskipun dengan makna yang
ringan dan dangkal- menemukan jalannya di alam abstrak dan termasuk ke
dalam akal-akal dan paradoks-paradoks, maka penggerak tak digerakkan
hanya akan mempunyai satu obyek saja, dan dia tak lain adalah dzat wajib
dan dengan demikian teori gerak akan menjadi affirmasinya wajib.
Point lainnya: apabila gerak kita ketahui
sebagai sebuah perjalanan dari tiada ke ada dan hal tersebut kita
nisbatkan kepada seluruh possibility yang ada, maka gerak ini akan
equivalen dengan hudust dzati, dan penjelasannya adalah sebagai berikut
bahwa proposisi “yang digerakkan oleh gerak ini membutuhkan penggerak
tak digerakkan” adalah equivalen dan setara dengan apa yang kita katakan
bahwa: fakta dzati membutuhkan qadim (ancient) dzati dan karena qadim
dzati tidak akan bisa muncul sebelum adanya wahid, dengan demikian
eksistensi tak digerakkan ini tak lain dan tak bukan adalah wahid itu
sendiri.
Apakah penggerak pertama adalah tunggal?
Tentang apakah Aristoteles adalah seorang
pemikir yang sepakat terhadap teori penggerak awal sebagai Tuhan yang
esa (mono) ataukah sebagai Tuhan yang jamak (poly), terdapat banyak
perbedaan pendapat di dalamnya, akan tetapi tentang apakah teori gerak
mampu membuktikan bahwa Tuhan itu wahid ataukah tidak, hal ini
membutuhkan diskursus yang lain lagi.
Dalam kitab Prinsip-prinsip Theology
dalam Filsafat Yunani dan Agama-agama Ilahi tertulis: bisa jadi
Aristoteles berfikir tentang penggerak-penggerak tak digerakkan dalam
bentuk plural. Dengan diketahuinya bahwa Aristoteles telah sampai pada
penggambaran Tuhan melalui metodologi gerak dan setiap bentuk dari
gerak-gerak yang dia temukan senantiasa berakhir pada sebuah gerak tak
digerakkan, maka berarti secara normal Aristoteles harus sepakat dengan
kemajemukan Tuhan (polytheisme).
Mungkin saja bisa dikatakan bahwa:
Apabila kita menganalisa pluralitas sebagai sebuah longitudinal dan
maksud kita dari tuhan-tuhan yang plural dan majemuk adalah
penggerak-penggerak tak digerakkan dalam sepanjang longitudinal satu
dengan lainnya yang pada akhirnya akan sampai pada satu penggerak
pertama, maka matlab semacam ini bisa diperoleh dari discourse
Aristoteles dan tentu saja hal ini tidak bertentangan dengan Tauhid
Tuhan dalam agama, akan tetapi apabila yang kita maksud dengan
pluralitas adalah aksidensi dan maksud dari tuhan-tuhan yang plural dan
majemuk adalah penggerak-penggerak tak digerakkan dalam aksidensi satu
dengan lainnya, maka uraian seperti ini tentu saja akan bermakna syirik
dalam prinsip keberadaan, akan tetapi dengan memperhatikan pendapat
Aristoteles dalam masalah ini maka kita tidak bisa menisbatkan kata
“syirik” kepadanya. Ibarat di bawah ini merupakan saksi dari klaim ini
dan merupakan penegas yang bisa memberikan rujukan padanya:
“Pemula dan pertama, merupakan
eksistensi-eksistensi yang tak digerakkan baik secara dzat maupun secara
aksiden, akan tetapi pertama menggerakkan gerak mono-eternal, dengan
memperhatikan bahwa yang digerakkan terpaksa menjadi bergerak karena
sesuatu dan penggerak pertama secara dzat merupakan eksistensi tak
digerakkan, dan gerak eternal menjadi bergerak karena sebuah eksistensi
eternal juga, dan sebuah gerak terjadi dari sebuah penggerak, dan juga
karena kita melihat bahwa selain gerak mutlak seluruh alam -dimana kita
mengatakannya: substansi pertama yang tak digerakkan telah
menggerakkannya- terdapat pula gerak-gerak space lainnya, seperti gerak
abadi bintang-bintang berputar (yaitu meteor) .... maka setiap
gerakan-gerakan space ini pun harus bergerak karena sebuah esensi dzati
yang tak digerakkan dan yang abadi, .... jadi apa yang dikatakan bahwa
esensi-esensi itu ada dan salah satu dari mereka adalah yang pertama dan
selainnya adalah yang kedua, dengan keteraturan serupa, gerakan
bintang-bintang menjadi sebuah point yang sangat jelas”.
Dari discourse ini bisa disimpulkan bahwa
Aristoteles sepakat dengan adanya sebuah penggerak pertama yang secara
dzat tak digerakkan, dan dia menganggapnya sebagai penggerak gerakan
mutlak seluruh alam dan dalam sepanjang penggerak pertama ini dia juga
percaya terhadap penggerak-penggerak tak digerakkan yang berada pada
tingkatan kedua.
Apabila gerak dari tiada menjadi ada dan
dari tak wujud menjadi wujud secara hakekat kita ketahui pula sebagai
gerak, dalam keadaan ini tentu saja kita tidak akan mampu menganggap
bahwa penggerak tak digerakkan dari penggerak-penggerak plural
Aristoteles adalah selain penggerak tak digerakkan pertama, karena
selain penggerak pertama semuanya mempunyai perjalanan dari tiada ke
ada.
Penggerak pertama merupakan sebab akhir (a final cause) ataukah sebab aktif (an activity cause)?
Sebagian menguraikan teori gerak
sedemikian rupa hingga pada pamungkasnya membuktikan penggerak pertama
sebagai sebab aktif gerak dan maksud dari sebab aktif atau pelaku gerak
adalah “faktor yang mewujudkan gerak”. Di sini terdapat sebuah ishkal
yang mengatakan bahwa pelaku yang langsung mewujudkan gerak maka dia
sendiripun harus mempunyai gerak pula, dan atas dasar ini berarti tidak
mungkin ada penggerak yang tak digerakkan.
Dalam menjawab kritik ini harus dikatakan
bahwa pertama: apa sebenarnya yang dimaksud dengan gerak itu? Adakah
yang dimaksud adalah gerak yang berada dalam ruang lingkup substansi
ataukah gerak dengan makna kemunculan dan hudust (perjalanan dari tiada
ke ada) pun termasuk yang dimaksudkan? Kedua: harus dilihat gerak di
sini adalah sebagai akal kedua filsafat dan sebagai sebuah metode
eksistensi ataukah gerak sebagai sebuah persoalan esensial dan fenomena
aksidensi?
Apabila gerak dalam substansi kita lihat
sebagai sebuah fenomena asidensi dan teori penggerak pertama menekankan
pada gerak ini, maka pertama: teori ini tidak cukup untuk membuktikan
penggerak tak digerakkan, dan kedua: andai kita misalkan mencukupi, hal
tersebut tetap tidak akan membuktikan tentang Tuhan, melainkan hanya
akan membuktikan penggerak abstrak (metafisik) yang tak digerakkan.
Akan tetapi apabila gerak alam materi
kita lihat sebagai sebuah persoalan dzati dalam jauhar (esensi) jism,
maka dari sini kreasi gerak akan menjadi kreasi yang simpel dan
sederhana bukan kreasi gabungan, dan teori ini akan mampu menjadi
pembukti penggerak tak digerakkan, akan tetapi sekali lagi statement ini
masih belum matang untuk membuktikan penggerak tak digerakkan sebagai
mabda pertama (Tuhan) dan cenderung akan menjadi sempurna hanya dengan
bantuan dari pembatalan interkoneksi (tasalsul).
Namun apabila gerak kita ambil dengan
makna perjalanan dari tiada ke ada, maka dalam kondisi ini kita akan
mampu mengatakan bahwa: eksistensi bisa terpilah dalam dua kelompok,
yaitu penggerak atau digerakkan, dan karena yang digerakkan akan
tertolak tanpa adanya penggerak, maka dalam keadaan apapun penggerak
menjadi lazim dan dharuri. Dengan uraian ini teori gerak tidak
memerlukan bantuan pembatalan teori daur atau interkoneksi, karena semua
alam bergerak yang tercakup dalam satu wahana mempunyai satu hukum dan
hukum tersebut adalah kebutuhannya akan penggerak yang tak digerakkan.
Mulla Sadra dalam kaitannya dengan gerak
substansi alam materi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penggerak
adalah pencipta atau pengada itu sendiri.
Hal ini akan menjadi lebih jelas dengan
apa yang kita maksud bahwa gerak merupakan perjalanan dari tiada ke ada
yaitu bahwa kreasi gerak tak lain adalah menciptakan, oleh karena itu
penggerak di sini bermakna pemberi wujud atau pengada.
Ayatullah Jawadi Amuli dalam wacana
tentang apakah teori gerak membutuhkan pembatalan teori daur ataukah
tidak, menuliskannya sebagai berikut:
Apabila setiap dari gerak-gerak tertentu
di alam luar diungkapkan sebagai statement, maka dalam menyempurnakan
teori gerak meniscayakan untuk mengambil bantuan dari tertolaknya teori
daur atau interkoneksi, akan tetapi apabila yang kita ungkapkan adalah
majemuk alam natural -yang merupakan sebuah kesatuan riil-, maka hal ini
tidak membutuhkan bantuan dari pembatalan interkoneksi, karena apa yang
ada di luar alam natural sebagaimana metafisik berakhir pada Tuhan
Subhan dan tidak ada satupun dari eksistensi abstrak yang memiliki
potensi dan talent sehingga dia perlu melakukan perjalanan bertahap
untuk sampai pada kesempurnaan. Dengan demikian tidak ada gerak dalam
eksistensi abstrak, melainkan dia konstan, bukan diam dan dari sisi
kekuatan dia tidak membutuhkan penggerak.
Sebagaimana telah kami katakan:
berargumentasi atas dasar gerak natural tidak akan mampu membuktikan
Tuhan secara langsung, melainkan hanya akan membuktikan eksistensi
metafisik, dan pembuktian eksistensi metafisik sebagai sebuah penggerak
tak digerakkan secara rasional tidak identik dengan pembuktian wajibul
wujud (Tuhan), dengan demikian untuk membuktikan Tuhan, teori ini masih
membutuhkan penyempurnaan. Begitu juga dengan statement atas dasar
gerak-gerak tertentu -sebagaimana yang telah diungkapkan oleh penyusun -
membutuhkan pula penyempurnaan. Hanya saja perbedaannya adalah
statement atas dasar gerak-gerak khas natural membutuhkan pembatalan
interkoneksi (tasalsul) atau teori daur dalam parameter geraknya, akan
tetapi teori gerak atas dasar gerak keseluruhan alam natural membutuhkan
pembatalan interkoneksi dalam parameter wujudnya yaitu ketika wujud
penggerak tak digerakkan yang abstrak telah terbukti, maka pertanyaan
berikut ini harus kita ungkapkan yaitu apakah wujud penggerak semacam
ini adalah dzati ataukah ditemukan dari selainnya, kemudian dari sini
dengan penafian interkoneksi pada akhirnya kita akan membuktikan wajib.
Sebagaimana dalam discourse-nya, Ayatullah Jawadi mengatakan: ..... akan
berakhir pada Tuhan. Point akhir ini menunjukkan pada kebutuhan teori
tersebut terhadap penyempurnaan. Akan tetapi apabila dikatakan: gerak
materi dan alam samasekali tidak membutuhkan penggerak. Klaim ini sangat
jelas kekeliruannya, akan tetapi apabila dikatakan: gerak materi tidak
membutuhkan penggerak dari luar alam, melainkan penggerak dari gerak ini
berada di dalam materi itu sendiri dan gerak ini merupakan gerak
dinamik bukan mekanik dan oleh karena itulah sehingga tidak akan
berakhir pada penggerak metafisik.
Dalam menjawab hal ini harus dikatakan:
misalkan saja kita memiliki sebuah bahan dengan nama A yang bergerak.
Gerak ini bisa jadi berada di dalam substansi A itu sendiri dan bisa
jadi juga berada dalam aksiden-nya. Apabila gerak tersebut berada di
dalam substansi A, berarti A tidak bisa memberikan gerak ini kepada
dirinya sendiri, karena hal itu akan berarti bahwa kita harus memisalkan
A tidak mempunyai gerak lalu dia memberikan gerak kepada dirinya dan
hal ini mustahil, karena “tidak memiliki sesuatu sama sekali tidak akan
mampu memberikan sesuatu”, dan pada akhirnya anterioriti sesuatu atas
diri sendiri akan meniscayakan kontradiksi yang mustahil, dan apabila
gerak tersebut berada dalam aksidensi A maka penyebabnya bisa jadi
adalah jauhar atau esensi sebagai pelaku langsung gerak, yang dengan
demikian berarti secara urgensi dia sendiri juga harus digerakkan dan
dalam keadaan ini matlab di atas akan terulang, atau penyebabnya adalah
aksiden itu sendiri yang terlepas dari esensi, muncul sebagai pemicu
geraknya sendiri, dimana dalam keadaan ini pun akan muncul kritik
anterioriti atas diri sendiri atau pencipta gerak adalah faktor ketiga
yang dalam hal ini matlab akan menjadi relefan yaitu kebutuhan yang
digerakkan terhadap penggerak selain dirinya menjadi terbukti. Apabila
dikatakan: gerak ini merupakan lompatan (tanpa sebab), maka kami akan
berkata: berarti hal ini identik dengan revolusi dan mustahil terjadi.
Ayatullah Jawadi Amuli menuliskan:
apabila sebuah eksistensi materi ingin melepaskan diri begitu saja dari
kekurangannya dan ingin mencapai kesempurnaan dengan sendirinya tanpa
bantuan dari eksistensi sempurna, maka kelazimannya adalah bahwa sebuah
benda materi dalam kepotensiannya mempunyai aktualitas dan dalam
kekurangannya mempunyai kesempurnaan, yang hal ini identik dengan
terkumpulnya dua kontradiksi (ijtima naqidhain). Dengan demikian setiap
eksistensi bergerak membutuhkan eksistensi sempurna lainnya yang akan
mengangkatnya dari kekurangan dan mengantarkannya kepada kesempurnaan
dan apabila gerak luar tersebut juga merupakan gerak, maka dia
membutuhkan penggerak lainnya pula hingga akhirnya sampai pada penggerak
pertama dimana penggerak pertama ini dikarenakan kesuciaan nya dari
segala kekurangan, dia akan terlepas dari segala bentuk gerak dan
transformasi lainnya dan ini adalah apa yang dinamakan dengan teori
gerak dari metodologi keteraturan aktivity.
Maksud dari aktual dan potensi dalam
pembicaraan di atas adalah ada dan tiada, dan karena berkumpulnya tiada
dan ada adalah mustahil, maka terkumpulnya potensi dan aktual dalam satu
benda adalah tidak mungkin.
Dalam uraian teori gerak, penggerak tak
digerakkan ditetapkan sebagai tujuan akhir yang merupakan pokok dalam
definisi gerak yaitu perjalanan dari potensi ke aktual. Segala sesuatu
yang bergerak, untuk dapat bergerak, mengharuskan adanya tujuan, dan
apabila tujuan itu sendiri membutuhkan tujuan, ini berarti termasuk
dalam suatu kaidah yang pada akhirnya mengharuskan adanya rangkaian
aktualitas yang merupakan tujuan dari segala sesuatu yang bergerak yang
kemudian berakhir pada satu aktualitas hakiki yang tidak membutuhkan
aktualitas lagi dan merupakan dasar dari gerak segala sesuatu yang
bergerak, dengan kata lain tujuan akhir (hakiki) meniscayakan ketiadaan
potensi dan merupakan kesempurnaan yang hakiki.
Setelah diketahui bahwa sisi aktual
apabila dinisbatkan kepada sisi potensi merupakan sisi yang konstan,
maka pembuktian penggerak tak digerakkan melalui pencari tujuan gerak
menjadi lebih gampang dan lebih sedikit memiliki sanggahan, misalnya
sanggahan berikut tidak bisa diungkapkan bahwa tujuan dekat yang
bergerak itu sendiri meniscayakan –sebagaimana pelaku dekat dalam gerak-
dirinya sebagai yang digerakkan pula, melainkan kebalikannya setiap
tujuan dari sisi tujuannya meniscayakan kekonstanan. (perhatikan ini).
Apakah gerak yang terpancar dari penggerak pertama muncul dari cinta?
Salah satu pembahasan yang disajikan
dalam wacana tentang Tuhan-nya Aristoteles dan perbedaannya dengan Tuhan
agama-agama langit adalah bahwa Tuhan agama-agama langit bisa dijadikan
sebagai pancaran cinta sehingga kita mampu beribadah kepada Nya, hal
ini berlawanan dengan Tuhannya Aristoteles (yaitu penggerak tak
digerakkan) dimana kita tidak bisa beribadah kepada Nya dengan cinta..
Berdasarkan nukilan Frederick Copleston,
dikatakan bahwa Aristoteles sendiri dalam kitabnya yang berjudul “Akhlak
Kabir” telah mengungkapkan sub tema ini secara eksplisit bahwa mereka
yang berfikir bisa mencintai Tuhan akan terjerumus pada kesalahan,
karena pertama: Tuhan (penggerak tak digerakkan) tidak bisa memberikan
jawaban dalam menanggapi cinta kita dan kedua: dalam keadaan apapun dia
tidak bisa menyuruh kita untuk mencintai Nya.
Tentang hakekat apa yang sebenarnya
dimaksud oleh Aristoteles, hal ini membutuhkan kontemplasi dan observasi
yang lebih cermat lagi dan dalam bab ini muncul pertanyaan prinsip
sebagai berikut yaitu apabila Tuhan atau penggerak tak digerakkan
pertama kita letakkan sebagai tujuan akhir dan juga sebagai ma’shuq
(yang dicintai) dan penggerak akhir yang relevan, dalam keadaan ini alam
gerak secara keseluruhan akan merupakan alam cinta terhadap penggeumrak
tak digerakkan yaitu Tuhan, dan hal ini tidak relevan dengan klaim yang
mengatakan bahwa tidak bisa ada cinta terhadap Tuhan, kecuali apabila
maksud Aristoteles adalah bahwa cinta terhadap Tuhan tersebut berada di
dalam segala sesuatu yang digerakkan secara paksa dan tak dikehendaki
sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk cinta, penyembahan dan ibadah
yang dikehendaki.
Sumber: Surga Makalah
Sumber: Surga Makalah