Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam

Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tawhid), etika (akhlaq, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka hukum,
Salah satu
ajaran yang dengan
sempurna menampilkan
universalisme Islam adalah
lima buah jaminan
dasar yang diberikan agama
samawi terakhir ini kepada warga
masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan
dasar itu tersebar
dalam literatur hukum
agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, yaitu jaminan dasar akan (1)
keselamatan fisik warga
masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan
keyakinan agama masing-masing, tanpa ada
paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan
keturunan, (4) keselamatan harta benda dan
milik pribadi di luar
prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik
warga masyarakat mengharuskan
adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada
semua warga masyarakat
tanpa kecuali, sesuai
dengan hak masing-masing. Hanya
dengan kepastian hukumlah
sebuah masyarakat mampu mengembangkan
wawasan persamaan hak
dan derajat antara sesama
warganya, sedangkan kedua
jenis persamaan itulah yang
menjamin terwujudnya keadilan
sosial dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa
pandangan hidup (Worldview, Weltanschauung) paling jelas universalitasnya
adalah pandangan keadilan sosial.
Demikian juga, jaminan
dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat
melandasi hubungan
antar-warga masyarakat atas
dasar sikap saling hormat menghormati, yang akan
mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling
pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah
dengan penindasan, kesempitan pandangan
dan kedhaliman terhadap
kelompok minoritas yang berbeda
keyakinan agamanya dari
keyakinan mayoritas, sejarah
ummat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah
bagian inherent dari
kehidupan manusia. Sejarah persekusi
dan represi adalah sejarah "orang
besar", walaupun sasarannya selalu
"orang kecil". Dalam
menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik
membuktikan kekuatan toleransi dan sikap
tenggang rasa dalam
membangun masyarakat. Justru toleransilah
yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang
sejarah Bahkan sejarah agama
membuktikan munculnya agama sebagal dobrakan moral atas kungkungan ketat
dari pandangan yang dominan, yang
berwatak menindas, seperti dibuktikan
oleh Islam dengan dobrakannya
atas ketidakadilan wawasan
hidup jahiliyyah yang
dianut mayoritas orang Arab
waktu itu. Dengan
tauhid, Islam menegakkan penghargaan
kepada perbedaan pendapat
dan perbenturan keyakinan. Jika
perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar
seperti keamanan, tentunya sikap
tenggang rasa lebih lagi
diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak
nyata dari tilikan aspek
ini, bahwa Islam
melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat
manusia secara keseluruhan.
Jaminan dasar
akan keselamatan keluarga
menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti
kerangka etis yang utuh
maupun dalam arti
kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga
merupakan ikatan sosial paling
dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam
bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada. Kesucian keluarga
inilah yang melandasi
keimanan yang memancarkan toleransi
dalam derajat sangat
tinggi. Dalam kelompok masyarakat
lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran
secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut
kebenaran, kelompok supra-keluarga
senantiasa mencoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit,
ruang gerak individu
warga masyarakat untuk
melakukan eksperimentasi dengan
pandangan hidupnya sendiri, dan
untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal
upaya melakukan uji coba
seperti itulah yang akan
menajamkan kebenaran masing-masing
keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan
untuk
melakukan upaya
perbandingan antara berbagai
keyakinan, termasuk
keimanan kita, dan
dalam proses itu
membuktikan keampuhan konsep keimanan
sendiri. Disamping kebenaran yang dapat
diraih melalui pengalaman
esoteris, Islam juga memberikan peluang
bagi pencapaian kebenaran melalu proses dialektis.
Justru proses dialektis
inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu
keyakinan, dan Islam memberikan
wadah untuk itu,
yaitu lingkungan
kemasyrakatan terkecil yang
bernama keluarga. Di lingkungan sangat
kecil itulah individu
dapat mengembangkan
pilihan-pilihannya tanpa gangguan,
sementara kohesi sosial
masih terjaga karena
keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya secara
umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar.
Jaminan
dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property) merupakan sarana
bagi berkembanguya hak-hak
individu secara wajar dan proporsional,
dalam kaitannya dengan
hak-hak masyarakat atas individu.
Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang
diinginkan secara kolektif
atas masing-masing individu warga
masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada
batas terjauhnya, dan
warga masyarakat secara perorangan
tidak dapat dikenakan
kewajiban untuk masyarakat lebih
dari batas-batas tersebut.
Batas paling praktis, dan
paling nyata jika
dilihat dari perkembangan
Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme
saat ini, adalah pemilikan harta-benda
oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan
memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan
diri melalui pola
atau cara yang dipilihnya
sendiri,
namun tetap dalam alur umum
kehidupan masyarakat.
Sejarah ummat manusia
menunjukkan bahwa hak
dasar akan pemilikan harta-benda
inilah yang menjadi penentu kreativitas
warga masyarakat, berarti
kesediaan melakukan transformasi
itulah warga masyarakat
memperlihatkan wajah universal kehidupannya?
Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan
sosok lain lagi dari universalitas
ajaran Islam. Penghargaan
kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan
pilihan-pilihan atas resiko sendiri,
mengenai keberhasilan yang ingin
diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan
lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah
hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap
dalam kerangka alur
umum kehidupan masyarakat, karena
pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur
umum kegiatan masyarakat,
yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri.
Ini berarti keseimbangan cair
yang harus terus-menerus
dicari antara hak-hak individu
dan kebutuhan masyarakat,
sebuah kondisi situasional
yang serba eksistensial
sebagai wadah untuk menguji kebenaran
keyakinan dalam rangkaian
kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut
pandangan keimanan saya, padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak
ada yang lebih universal dari pencarian
jawaban akan wujud kebenaran
dalam rangkaian kejadian
seperti disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu.
Secara keseluruhan, kelima
jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan
hidup yang utuh
dan bulat. Pemerintahan
berdasarkan hukum, persamaan
derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah
unsur-unsur utama kemanusiaan, dan
dengan demikian menampilkan universalitas ajaran
Islam. Namun, kesemua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka
teoritik (atau mungkin bahkan hanya moralistik
belaka) yang tidak berfungsi,
juga tidak didukung oleh kosmopolititanisme peradaban Islam.
Watak kosmopolitan dari peradaban
Islam itu telah
tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai
dengan cara-cara Nabi Muhammad
s.a.w mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga
munculnya para ensiklopedis
Muslim awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijri, memantulkan
proses saling menyerap dengan
peradaban-peradaban lain di
sekitar Dunia Islam waktu
itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa Hellenisme hingga
peradaban anak benua India.
Kosmopolitanisme peradaban
Islam itu muncul
dalam sejumlah unsur dominan,
seperti hilangnya batasan
etnis, kuatnya pluralitas budaya
dan heterogenitas politik.
Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan
diri dalam unsur
dominan yang menakjubkan, yaitu
kehidupan beragama yang
eklektik selama berabad-abad.
Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum
agama selama empat abad
pertama sejarah Islam, akan
tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut
oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal itu
dianggap sebagai kemelut
kehidupan beragama kaum Muslim, karena tidak adanya konsensus atas hal-hal
dasar, maka harus juga
dibaca dengan cara
lain bahwa pemikir
Muslim telah berhasil
mengembangkan watak kosmopolitan
dalam pandangan budaya dan
keilmuan mereka, karena
mampu saling berdialog secara
demikian bebas. Kebebasan
kaum Mu'tazilah untuk mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-Qur'an
turun dalam bentuk huruf dan bahasa yang
sekarang dikenal (bahasa Arab,
huruf Hija'iyyah) dan menganggap Kitab Suci kaum Muslim tersebut
diturunkan hanya secara maknawi belaka, sesuatu
yang sekarang tentunya dianggap
sikap seorang murtad dari agama
Islam, adalah dari pertanda kuatnya
watak kosmopolitan dari peradaban Islam
waktu itu. Pertanyaan bagaimanapun gilanya
mendapatkan peluang untuk
diutarakan dengan bebas.
Dalam situasi seperti itu tokh tidak ada bahaya apapun bagi Islam,
karena proses dialog serba dialektik akan memunculkan koreksi budayanya sendiri,
yang dalam kasus
Mu'tazilah mengambil bentuk
koreksi al-Asy'ari, al-Maturidi dan
al-Baqillani yang berujung pada
ilmu kalam skolastik dari kaum
Sunni. Koreksi itupun memperlihatkan
watak kosmopolitan, karena
ia tidak muncul sebagai
hardikan atau tuntutan
ilegal-yuridis, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil
sikap mengadili atau menghakimi.
Baru ketika kemapanan masyarakat Islam mengambil tindakan melarang
perdebatan ilmiah sajalah, sambil memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy'ari
dan kawan-kawan sebagai kebenaran ajaran Islam, watak kosmopolitan dari
peradaban Islam mulai terputus dengan sendirinya.
Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai
atau berada pada
titik optimal, manakala tercapai
keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan
berpikir semua warga
masyarakat (termasuk mereka yang
non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang
kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat
mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari
keharusan berpegang pada
kebenaran. Situasi kreatif yang
memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari
kebenaran yang ingin dicari
dan ditemukan, situasi cair
yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk
terus-menerus mewujudkan diri
dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata
dalam postulat-postulat spekulatif
belaka.
Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan
derajat di antara sesama warga
masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit dalam bentuk
kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian
sempit antara kebebasan berfikir di satu pihak dan
imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa dari para
pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak antara keduanya, agar
tidak saling menghimpit.
Ketegangan intelektual
(intellectual tension) yang
mewarnai situasi seperti itu
akan memotori kosmopolitanisme yang
menjadi keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik
dari ajaran Islam secara keseluruhan.
Dalam semangat seperti itulah
para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan peradaban Islam. Imam
Hasan al-Basri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga
adalah ilmuwan di bidang
bahasa. Imam al-Khalil
ibn Ahmad al-Farahidi yang dengan kesalehannya yang
luar biasa, ternyata adalah peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung
beliau, Qamus al-A'ain, yang sepenuhnya
menggunakan pembagian
ilmu pengetahuan melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'I
mujtahid di bidang hukum agama
(fiqh), justru menundukkan proses pengambilan
hukum agama (istinbat
al-ahkam) kepada sejumlah kaidah metodologis tertentu, bukannya hanya
sekedar menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi belaka. Kelahiran
usul fiqh sebagai teori hukum, sebenarnya
merupakan proses kreatif yang
dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan norma ajaran agama,
namun sangat disayangkan
ia akhirnya menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut
fiqh secara tidak kreatif dan dengan
sendirinya berubah fungsi
menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas.
Sebuah
agenda baru dapat
dikembangkan sejak sekarang untuk menampilkan kembali
universalitas ajaran Islam
dan kosmopolitanisme peradaban
Islam di masa datang. Pengembangan agenda
baru itu diperlukan,
mengingat kaum Muslim
sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif,
sehingga tidak mampu lagi mengambil
bagian dalam kebangunan peradaban manusia
yang akan muncul di masa pasca-indrustri nanti (yang
sekarang sudah mulai
nampak sisi pinggirannya dalam cibernetika
dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan merupakan beban bagi
kebangkitan peradaban bagi umat manusia nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya
akan menjadi obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang
bermartabat dan berderajat penuh
seperti yang lainnya.
Jika itu yang diinginkan,
mau tidak mau
haruslah dikembangkan agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya
bagi ummat manusia secara
keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian
kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang
penuh kearifan akan
keterbelakangan kaum Muslim sendiri
akan memunculkan tenaga
luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan
yang begitu kuat mencekam
kehidupan mayoritas kaum
Muslim dewasa ini. Dari proses
itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang
selanjutnya, akan bersama-sama
faham dan ideologi lain-lain, turut
membebaskan manusia dari
ketidakadilan struktur
sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim.
Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan
kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan
mampu memberikan perangkat sumber daya manusia yang diperlukan oleh si
miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui
penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas
sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.
0 komentar:
Post a Comment