Kaum Intelektual dan Sosialisme
Sepuluh tahun yang lalu, atau bahkan enam atau tujuh tahun yang lalu,
para pembela pemikiran sosiologi Rusia yang subjektif (yakni kaum
“Sosialis Revolusioner[1]”) mungkin telah berhasil menggunakan brosur terbaru dari ahli filosofi dari Austria, Max Adler[2],
untuk kepentingan mereka. Akan tetapi, selama lima atau enam tahun
terakhir, kita telah melalui “pemikiran sosiologi” yang cermat dan
objektif, dan pelajaran-pelajarannya tertulis pada tubuh kita di
bekas-bekas luka yang sangatlah
ekspresif, dimana contoh yang paling
baik dari kaum intelektual, bahkan yang datang dari pena “Marxis” Max
Adler, tidak akan bisa membantu subjektivisme Rusia. Sebaliknya, nasib
dari kaum subjektivis Rusia adalah sebuah argumen yang paling serius
terhadap gagasan-gagasan dan kesimpulan-kesimpulan Max Adler.
Subyek dari brosur ini adalah hubungan antara kaum intelektual dan
sosialisme. Bagi Adler, ini bukan hanya sebuah masalah analisa teori
tetapi juga masalah hati nurani. Ia ingin meyakinkan orang-orang. Brosur
Adler, yang berdasarkan pidato yang dia berikan pada kaum pelajar
sosialis, dipenuhi dengan keyakinan yang kuat. Semangat untuk merubah
keyakinan seseorang memenuhi brosur kecil ini, dan ini memberikannya
sebuah nuansa yang spesial pada ide-ide yang tidak baru ini. Untuk
memenangkan kaum intelektual ke idenya, untuk meraih dukungan mereka
dengan cara apapun, hasrat politik tersebut benar-benar menutupi analisa
sosial di dalam brosur Adler. Dan ini memberikannya sebuah nada yang
partikular, dan merupakan kelemahannya.
Apa itu kaum intelektual? Tentu saja Adler memberikan konsep ini
bukan sebuah definisi moral tetapi sebuah definisi sosial: kaum
intelektual bukanlah sebuah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum
sejarah, tetapi sebuah strata sosial yang meliputi semua pekerjaan
“otak”. Bagaimanapun sulitnya untuk menarik garis demarkasi antara kerja
“manual” dan “otak”, ciri-ciri sosial umum dari kaum intelektual cukup
jelas, tanpa perlu menuju ke detil-detil. Kaum intelektual adalah sebuah
kelas tersendiri – Adler menyebut mereka sebuah kelompok inter-kelas
[yang dimaksud disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat pada
satu kelas saja – Ed.], tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang
eksis di dalam kerangka masyarakat borjuasi. Dan bagi Adler
pertanyaannya adalah: siapa yang memiliki hak untuk memiliki jiwa dari
kelas ini? Apa ideologi yang menjadi dasarnya, sebagai hasil dari fungsi
sosialnya? Adler menjawab: ideologi kolektivisme. Adler tidak menutupi
matanya dari kenyataan bahwa kaum intelektual Eropa, selama mereka tidak
menentang ide kolektivisme, berdiri mengambang jauh dari kehidupan dan
perjuangan rakyat pekerja, tidak panas dan tidak dingin. Tetapi semua
tidak harus seperti itu, kata Alder, tidak ada basis objektif yang cukup
untuk itu. Adler secara pasti menentang kaum Marxis yang menyangkal
keberadaan kondisi-kondisi umum yang dapat menyebabkan sebuah gerakan
massa kaum intelektual menuju sosialisme.
Dia menyatakan di pembukaannya “Ada faktor-faktor yang memadai –
walaupun bukan faktor ekonomi secara murni, tetapi dari lingkupan yang
lain – yang dapat mempengaruhi seluruh massa kaum intelektual, bahkan
terlepas dari situasi kehidupan kaum proletar, faktor-faktor yang dapat
menjadi motif yang cukup bagi mereka untuk bergabung dengan gerakan
buruh sosialis. Kaum intelektual hanya perlu dibuat sadar akan sifat
dasar utama dari gerakan ini dan posisi sosial mereka.” Apa
faktor-faktor ini? Adler mengatakan, “Karena kesakralan, dan terutama,
peluang untuk perkembangan kepentingan spiritual yang bebas adalah
kondisi kehidupan kaum intelektual yang utama, oleh karena itu
kepentingan intelektual adalah sama dengan kepentingan ekonomi. Maka,
bila basis bagi kaum intelektual untuk bergabung dengan gerakan sosialis
harus dicari di luar lingkupan ekonomi, ini adalah karena persyaratan
eksistensi ideologi tertentu untuk kerja mental daripada isi kebudayaan
sosialisme” (halaman 7). Terlepas dari karakter kelas seluruh gerakan
(toh, gerakan hanyalah sebuah jalan!), terlepas dari gambaran
partai-politik sehari-hari (toh, partai politik hanyalah sebuah alat!),
sosialisme pada dasarnya, sebagai sebuah ide sosial yang universal,
berarti pembebasan semua bentuk kerja otak dari segala macam belenggu
dan batasan sejarah. Premis ini, visi ini, menyediakan jembatan ideologi
dimana kaum intelektual Eropa dapat dan harus lewati untuk menuju ke
kamp Sosial Demokrasi[3].
Ini adalah titik pandang Adler yang utama, yang merupakan isi dari
seluruh brosurnya. Kekeliruan utamanya, yang segera mencuat ke mata
kita, adalah karakternya yang non-historis. Dasar sosial bagi
kaum intelektual untuk memasuki kamp kolektivisme yang digunakan oleh
Adler sudah ada sejak dulu; akan tetapi tidak ada sama sekali gerakan
massa intelektual menuju Sosial Demokrasi di negara Eropa manapun. Tentu
saja Adler tahu hal ini seperti juga kita. Tetapi dia cenderung melihat
terasingnya kaum intelektual dari gerakan kelas pekerja adalah karena
kaum intelektual tidak memahami sosialisme. Pada satu pihak ini
benar. Tetapi bila begitu apa penjelasan untuk ketidakpahaman ini, yang
eksis bersama-sama dengan pemahaman mereka akan hal-hal yang lebih
kompleks? Jelas, ini bukan karena kelemahan logika ideologis mereka,
tetapi karena kekuatan elemen-elemen irasional di dalam psikologi kelas
mereka. Adler sendiri berbicara mengenai ini di dalam babnya Bürgerliche Schranken des Verständnisses (Batas Pemahaman Kaum Borjuis),
yang merupakan salah satu bab terbaik di dalam brosur tersebut. Tetapi
dia berpikir, dia berharap, dia yakin – dan disini sang teoritis menjadi
pengkhotbah – bahwa Sosial Demokrasi Eropa akan bisa menghancurkan
elemen-elemen irasional di dalam mentalitas pekerja-otak bila saja
Sosial Demokrasi merekonstrusi logika hubungannya dengan mereka [baca
kaum intelektual – Ed.]. Kaum intelektual tidak memahami sosialisme
karena sosialisme dari hari-ke-hari tampak bagi mereka ada dalam bentuk
rutinnya sebagai sebuah partai politik, seperti yang lainya. Tetapi bila
kaum intelektual bisa ditunjukkan wajah sosialisme yang sesungguhnya,
sebagai sebuah gerakan kebudayaan sedunia, mereka pasti akan bisa
melihat harapan dan aspirasi mereka yang terbaik. Begitulah pikir Adler.
Kita sudah sampai sejauh ini tanpa memeriksa apakah benar persyaratan
kebudayaan murni (perkembangan teknik, ilmu pengetahuan, kesenian) jauh
lebih kuat, sepanjang kaum intelektual disangkutkan, daripada pengaruh
kelas dari keluarga, sekolah, gereja, dan negara, atau kepentingan
material. Dan bahkan bila kita menerima ini sebagai argumen, bila kita
setuju untuk melihat bahwa kaum intelektual adalah pendeta kebudayaan
yang sampai sekarang hanya gagal melihat bahwa penumbangan rejim borjuis
dengan sosialisme adalah cara terbaik untuk melayani kepentingan
kebudayaan, pertanyaan yang utama tetap adalah: dapatkah Sosial
Demokrasi Eropa Barat menawarkan kaum intelektual, secara teori dan
moral, sesuatu yang lebih meyakinkan atau lebih menarik daripada apa
yang sudah ditawarkan sampai sekarang?
Kolektivisme sudah memenuhi dunia dengan suara perjuangannya selama
berpuluh-puluh tahun. Selama periode ini jutaan buruh telah bersatu di
dalam organisasi politik, serikat buruh, koperasi, organisasi
pendidikan, dan organisasi-organisasi lainnya. Seluruh kelas telah
bangkit dari dasar kehidupan dan memaksa masuk ke dalam politik, yang
sampai sekarang dianggap sebagai hak tunggal dari kelas yang berada.
Setiap hari, koran-koran sosialis – koran teori, politik, serikat buruh –
mengevaluasi ulang semua nilai-nilai borjuis dari sudut pandang sebuah
masyarakat yang baru. Tidak ada satupun masalah mengenai kehidupan
sosial dan kebudayaan (perkawinan, keluarga, sekolah, gereja, tentara,
patriotisme, kebersihan sosial, prostitusi) yang tidak dipertentangkan
dengan nilai-nilai sosialisme. Sosialisme berbicara dalam semua bahasa
kemanusiaan yang berbudaya. Di dalam gerakan sosialis ini, orang-orang
dengan pemikiran yang berbeda-beda dan bermacam temperamen, dengan masa
lalu, hubungan sosial, dan kebiasaan hidup yang berbeda-beda, mereka
semua saling bekerja dan saling berseteru. Dan bila kaum intelektual
tetap “tidak memahami” sosialisme, bila semua ini tidak cukup untuk
membuat mereka, mendorong mereka untuk mengerti pentingnya gerakan
sedunia ini secara historis dan kultural, maka bukankah kita harus
menarik kesimpulan bahwa alasan dari ketidakpahaman ini sangatlah
mendasar dan usaha-usaha untuk mengatasi ini dengan teori dan tulisan
adalah tidak berguna sama sekali?
Gagasan ini menonjol bahkan lebih jelas bila kita melihat sejarah.
Influks kaum intelektual yang terbesar ke dalam gerakan sosialis – dan
ini benar di seluruh negara Eropa – terjadi di periode awal dari
keberadaan partai pekerja, ketika partai tersebut masih muda. Gelombang
influks pertama ini membawa ahli-ahli teori dan politisi yang paling
terkemuka ke dalam Internasionale Kedua[4].
Semakin Sosial Demokrasi Eropa tumbuh besar, semakin banyak rakyat
pekerja yang bergabung, dan semakin lemah (bukan hanya secara relatif
tetapi juga secara absolut) influks elemen-elemen baru dari kaum
intelektual. Koran Leipziger Volkszeitung lama mencari dengan sia
sia, melalui iklan koran, seorang pekerja editor dengan pendidikan
universitas. Disini kita terpaksa menerima sebuah kesimpulan, sebuah
kesimpulan yang bertentangan dengan Adler: semakin sosialisme
menampakkan isinya secara tegas, semakin mudah bagi setiap orang untuk
memahami tugas sosialisme di dalam sejarah, dan semakin kecut kaum
intelektual terhadap sosialisme. Walaupun ini bukan berarti mereka takut
akan sosialisme sendiri; jelas kalau di negara-negara kapitalis Eropa
telah terjadi perubahan-perubahan sosial yang dalam yang menghalangi
pergaulan antara orang-orang universitas dengan buruh, pada saat yang
sama dimana perubahan-perubahan sosial tersebut telah memfasilitasi
masuknya buruh ke dalam gerakan sosialis.
Apa perubahan-perubahan tersebut? Individu-individu,
kelompok-kelompok, dan strata kaum proletar yang paling cerdas telah
bergabung dan sedang bergabung ke Sosial Demokrasi. Pertumbuhan dan
konsentrasi industri dan transportasi hanya mempercepat proses ini.
Sebuah proses yang sepenuhnya berbeda sedang terjadi di dalam kelompok
intelektual. Perkembangan kapitalisme yang besar dalam dua dekade
terakhir sudah mengikis lapisan atas dari kelas ini. Kekuatan
intelektual yang paling cakap, yakni mereka yang memiliki inisiatif dan
kreatifitas, telah dihisap oleh industri kapitalis, oleh
sindikat-sindikat, perusahaan-perusahaan rel dan perbankan, yang
membayar mereka gaji yang sangat besar untuk mengorganisasi rejim
mereka. Hanya kaum intelektual kacangan yang tersisa untuk pelayanan
negara dan kantor-kantor pemerintah; dan editor-editor koran dari semua
tendensi mengeluh mengenai kekurangan “orang”. Dan perwakilan dari kaum
intelektual semi-proletar yang jumlahnya semakin meningkat, mereka tidak
dapat lari dari kehidupan yang selamanya tergantung pada orang lain dan
secara material tidak aman. Bagi mereka, yang melakukan fungsi yang
tidak lengkap dan rendah mutunya di dalam mekanisme kebudayaan yang
besar, daya tarik kebudayaan yang diajukan oleh Adler tidak cukup kuat
dengan sendirinya untuk mengarahkan simpati politik mereka kepada
gerakan sosialis.
Terlebih lagi adalah situasi dimana setiap kaum intelektual Eropa
yang secara psikologi bisa pindah ke kamp kolektivisme tidak memiliki
harapan untuk bisa meraih posisi yang berpengaruh di partai-partai
proletar. Ini adalah satu hal yang penting. Seorang buruh menjadi
seorang sosialis sebagai sebuah bagian dari keseluruhan, bersama-sama
dengan kelasnya, dimana dia tidak punya prospek untuk keluar dari
kelasnya. Dia bahkan puas dengan perasaan persatuan moral dengan
rakyatnya, yang membuatnya lebih percaya diri dan kuat. Akan tetapi kaum
intelektual menjadi seorang sosialis sebagai seorang individu, dengan
memutuskan tali pusat kelasnya sebagai seorang individu, dan secara tak
terelakkan berusaha untuk menggunakan pengaruhnya sebagai seorang
individu. Tetapi disinilah dia terbentur oleh rintangan-rintangan – dan
seiring waktu berjalan rintangan ini semakin bertambah besar. Pada
permulaan gerakan Sosial Demokrasi, setiap kaum intelektual yang
bergabung ke Sosial Demokrasi, bahkan bila dia bukan di atas rata-rata,
dapat meraih sebuah posisi di gerakan kelas pekerja. Sekarang setiap
pendatang-baru menemukan, di negara-negara Eropa Barat, struktur
demokrasi kelas-pekerja yang kolosal sudah eksis. Ribuan pemimpin buruh,
yang secara otomatis datang dari kelas mereka, membentuk sebuah
aparatus yang solid dimana diatasnya berdiri veteran-veteran aktivis
buruh yang terhormat, yang memiliki otoritas, figur-figur yang telah
menjadi sejarah. Hanya seorang yang memiliki bakat luarbiasa yang dapat
berharap untuk meraih posisi kepemimpinan untuk dirinya – tetapi orang
seperti itu, daripada meloncati jurang menuju sebuah kamp yang asing
baginya, dia biasanya akan mengikuti jalan yang rintangannya paling
kecil, yakni bekerja sebagai pelayan negara atau industri. Selain semua
itu, di antara kaum intelektual dan sosialisme berdiri sebuah tembok,
yakni aparatus organisasi Sosial Demokrasi. Aparatus organisasi ini
membuat tidak senang para intelektual yang memiliki simpati sosialis,
karena aparatus ini menuntut disiplin dan sikap menahan-diri; ini kadang
tidak sesuai dengan “oportunisme” mereka, dan juga kadang tidak sesuai
dengan “radikalisme” mereka yang berlebihan, dan ini menakdirkan mereka
ke peran penonton yang ribut yang terombang-ambing antara anarkisme dan
liberalisme-nasional. Simplicissimus[5]adalah
panji ideologi mereka yang tertinggi. Dengan modifikasi yang
berbeda-beda dan dengan kadar yang berbeda-beda, fenomena ini terulang
di semua negara di Eropa. Orang-orang ini, lebih daripada
kelompok-kelompok lainnya, terlalu sombong dan terlalu sinis untuk bisa
menerima arti penting kebudayaan dari sosialisme ke dalam jiwa mereka.
Hanya sedikit sekali “kaum ideolog” – dengan konotasi baik dan buruknya –
yang dapat meraih keyakinan sosialisme di bawah stimulus pemikiran
teori murni, dengan, sebagai titik tolak mereka, tuntutan hukum seperti
Anton Menger[6], atau persyaratan teknik seperti Atlanticus[7].
Tetapi bahkan kasus-kasus seperti ini, seperti yang kita ketahui,
biasanya tidak bergerak terlalu jauh dari gerakan Sosial-Demokrasi, dan
perjuangan kelas proletar di dalam hubungan internalnya dengan
sosialisme bagi mereka tetap merupakan sebuah buku yang terkunci dengan
tujuh segel.
***
Dengan mempertimbangkan bahwa tidaklah mungkin memenangkan kaum
intelektual ke kolektivisme dengan sebuah program yang bersifat
material, Adler sungguh benar. Tetapi ini tidak berarti bahwa mungkin
untuk memenangkan kaum intelektual dengan cara apapun, dan juga tidak
berarti bahwa kepentingan material segera dan ikatan kelas tidak
mempengaruhi kaum intelektual lebih dari prospek historis-kebudayaan
yang ditawarkan oleh sosialisme.
Bila kita tidak ikutsertakan kaum intelektual yang secara langsung
melayani rakyat pekerja, sebagai doktornya buruh, pengacara buruh, dan
sebagainya (sebuah strata, yang secara umum, terdiri dari perwakilan
yang kurang berbakat dari profesi-profesi tersebut), maka kita bisa
melihat bahwa kaum intelektual yang paling penting dan berpengaruh
mendapatkan penghidupannya dari laba industri, uang sewa tanah, atau
anggaran negara, dan oleh karena itu mereka secara langsung atau tidak
langsung bergantung pada kelas kapitalis atau negara kapitalis.
Bila dipertimbangkan secara abstrak, ketergantungan material ini
hanya menihilkan aktivitas politik militan dari kaum intelektual yang
anti-kapitalis, tetapi tidak menihilkan kebebasan spiritual mereka dari
kelas [kapitalis - Ed.] yang memberikan mereka penghidupan. Akan tetapi,
dalam kenyataannya tidak begitu. Justru karena karakter “spiritual”
dari kerja kaum intelektual yang membuat kaum intelektual secara tidak
terelakkan membentuk sebuah ikatan spiritual antara mereka dan kelas
penguasa. Manajer-manajer pabrik dan insinyur-insinyur pabrik dengan
tanggungjawab administratif selalu menemukan diri mereka di dalam
antagonisme dengan para buruh, dimana mereka harus membela kepentingan
kapital. Jelas sekali kalau fungsi yang harus mereka lakukan, pada
analisa terakhir, merubah cara berpikir mereka dan opini mereka terhadap
diri mereka sendiri. Dokter dan pengacara, walaupun karakter profesi
mereka yang independen, harus selalu berhubungan secara psikologi dengan
klien-klien mereka. Seorang tukang listrik dapat setiap hari memasang
kabel listrik di kantor-kantor para menteri, bankir, dan istri-istri
gelap mereka, dan dirinya tetap terisolasi dari mereka. Ini berbeda bagi
seorang dokter, yang harus menemukan nada di dalam jiwa dan suaranya
yang sesuai dengan perasaan dan kebiasaan orang-orang tersebut [para
menteri, bankir, dsb – Ed.]. Terlebih lagi, hubungan semacam ini secara
tidak terelakkan terjadi bukan hanya di lapisan atas masyarakat borjuis.
Para suffragette [perempuan yang membela hak memilih untuk perempuan – Ed.] dari London menyewa pengacara pro-suffragette
untuk membela mereka. Seorang dokter yang mengobati istri-istri para
jendral di Berlin atau istri-istri pemilik toko-kecil “Kristen-Sosial”
di Vienna, seorang pengacara yang membela kasus ayah, saudara, dan suami
mereka [para jendral dan pemilik toko-kecil tersebut – Ed.] tidak bisa
membiarkan dirinya merasa antusias mengenai prospek kebudayaan
kolektivisme. Semua ini benar bagi para penulis, artis, pemahat, seniman
– tidak secara langsung dan segera, tetapi tetap tak terelakkan. Mereka
menawarkan ke publik karya mereka atau kepribadian mereka, mereka
tergantung pada persetujuan dan uang mereka, dan oleh karena itu, secara
terbuka atau tertutup, mereka menundukkan kekreatifan mereka pada
“monster besar” yang mereka benci: kaum borjuis. Nasib para penulis
“muda” Jerman – yang sudah semakin menipis – menunjukkan kebenaran ini.
Gorky, yang dijelaskan oleh kondisi epos dimana dia tumbuh besar, adalah
sebuah pengecualian yang hanya membuktikan kebenaran ini:
ketidakmampuan dia untuk mengadaptasi dirinya pada degenerasi
anti-revolusioner kaum intelektual secara cepat mengikis
“popularitasnya”.
Disini tersingkap sekali lagi perbedaan sosial antara kondisi kerja
otak dan kerja otot. Walaupun kerja pabrik memperbudak otot dan
melemahkan badan, ia tidak bisa menundukkan pikiran buruh. Semua
kebijakan telah dicoba untuk menundukkan pikiran buruh, di Swiss seperti
di Rusia, yang terbukti tidak berguna. Otak kaum buruh dari sudut
pandang fisik lebih bebas. Penulis tidak harus bangun tidur ketika ayam
berkokok, di belakang punggung dokter tidak ada mandor, kantong
pengacara tidak diperiksa ketika dia meninggalkan pengadilan. Tetapi
sebagai gantinya, mereka [penulis, dokter, pengacara, dsb] bukan hanya
harus menjual tenaga-kerjanya, bukan hanya ototnya, tetapi seluruh
kepribadiannya sebagai seorang manusia – dan bukan karena rasa takut
tetapi karena kewajiban. Sebagai akibatnya, orang-orang ini tidak ingin
melihat dan tidak bisa melihat bahwa baju jas profesi mereka adalah
hanya sebuah seragam penjara yang lebih baik.
***
Pada akhirnya, Adler sendiri tampak tidak puas dengan formulanya yang
abstrak dan pada dasarnya idealistik mengenai inter-relasi antara kaum
intelektual dan sosialisme. Di dalam propaganda dia sendiri, dia
sesungguhnya berbicara bukan kepada kelas pekerja otak yang memenuhi
fungsi-fungsi tertentu di dalam masyarakat borjuasi, tetapi kepada
generasi muda kaum intelektual yang sekarang hanya berada di tahapan
persiapan untuk peran mereka di masa depan – yakni kepada para pelajar.
Bukti untuk ini bukan hanya dapat ditemukan pada siapa brosur Adler
ditujukan: “Kepada Serikat Mahasiswa Bebas di Vienna”, tetapi juga dari
nada brosur tersebut, agitasinya yang penuh semangat dan nada
ceramahnya. Tidak terpikir untuk bisa mengekspresikan diri sendiri
seperti itu di hadapan para profesor, penulis, pengacara, dokter. Nada
seperti itu akan langsung tersumbat di tenggorokan seseorang setelah
beberapa kata. Oleh karena itu, terbatas oleh kondisi material manusia
yang harus dia kerjakan, Adler sendiri membatasi tugasnya. Sang politisi
memperbaiki formula teorinya. Pada akhirnya, ini adalah perjuangan
untuk mempengaruhi para pelajar.
Universitas adalah tahap akhir pendidikan yang diorganisir oleh
negara untuk anak-anak kelas penguasa, seperti halnya barak-barak
militer adalah institusi pendidikan akhir untuk generasi muda kaum buruh
dan tani. Barak membentuk kepatuhan dan kedisiplinan yang dibutuhkan
untuk fungsi-fungsi sosial yang akan dipenuhi selanjutnya. Pada
prinsipnya, universitas melatih kemampuan manajemen, kepemimpinan, dan
pemerintahan. Dari sudut ini, bahkan kelompok fraternitas mahasiswa
Jerman adalah institusi kelas yang penting, karena mereka menciptakan
tradisi yang menyatukan para ayah dan anak-anaknya, menguatkan
kebanggaan nasional, menanam kebiasaan-kebiasaan yang dibutuhkan di
lingkungan borjuis, dan, akhirnya, meninggalkan sebuah cap yang
menandakan bahwa seseorang adalah bagian dari kelas penguasa.
Orang-orang yang melalui barak-barak, tentu saja, jauh lebih penting
bagi partai Adler dibandingkan mereka yang melalui universitas. Tetapi
pada situasi sejarah tertentu – yakni ketika, dengan perkembangan
industri yang pesat, tentara memiliki komposisi sosial dari kelas
proletar seperti halnya di Jerman – partai dapat mengatakan: “Saya tidak
perlu pergi ke barak-barak. Cukup bagi saya untuk mengantarkan sang
buruh muda sejauh pintu barak dan yang paling penting adalah menemui dia
saat dia keluar lagi. Dia tidak akan meninggalkan saya, dia akan tetap
menjadi milik saya.” Tetapi dalam hal universitas, bila partai ingin
melakukan perjuangan independen untuk merekrut kaum intelektual, dia
harus mengatakan yang sebaliknya: “Hanya disini dan hanya sekarang,
ketika sang pemuda bebas dari keluarganya, dan ketika dia belum menjadi
sandera dari posisinya di dalam masyarakat, saya dapat merekrut dia ke
dalam kelompok kita. Sekarang atau tidak sama sekali.”
Di antara kaum buruh, perbedaan antara “ayah” dan “anak” secara murni
hanya perbedaan umur. Di antara kaum intelektual perbedaannya bukan
hanya perbedaan umur tetapi juga perbedaan sosial. Kaum pelajar, tidak
seperti kaum buruh muda dan ayahnya sendiri, tidak memenuhi fungsi
sosial apapun, tidak merasakan ketergantungan langsung kepada kapital
atau negara, dan – setidaknya secara objektif bila bukan subjektif –
bebas di dalam penilaiannya akan apa yang benar dan salah. Di dalam
periode ini semua yang ada di dalam dirinya sedang berkembang, prasangka
kelasnya tidak terbentuk seperti halnya juga ketertarikan ideologinya,
masalah hati nurani sangat penting baginya, untuk pertama kalinya
pikirannya terbuka pada generalisasi ilmu pengetahuan yang agung, segala
sesuatu yang luar biasa hampir menjadi sebuah kebutuhan psikologi
baginya. Bila kolektivisme dapat menguasai pikirannya, sekaranglah
saatnya, dan kolektivisme dapat melakukan ini melalui karakter ilmiahnya
yang luhur yang menjadi basisnya dan isi kebudayaan yang komprehensif
dari tujuan-tujuannya, dan bukan melalui masalah “pisau dan garpu” (baca
masalah perut – Ed.) yang membosankan. Di poin terakhir ini Adler
sungguh benar.
Tetapi disini juga kita sekali lagi harus berhenti di hadapan sebuah
fakta yang jelas. Bukan hanya kaum intelektual Eropa secara keseluruhan
tetapi juga anak-anaknya, sang pelajar, yang secara pasti tidak
menunjukkan ketertarikan apapun terhadap sosialisme. Ada sebuah tembok
di antara partai buruh dan kaum pelajar. Mencoba menjelaskan masalah ini
hanya dengan alasan tidak cukupnya kerja agitasi, yang belum mampu
mendekati kaum intelektual dari sudut yang tepat, yakni apa yang Adler
coba jelaskan, berarti mengabaikan seluruh sejarah hubungan antara kaum
pelajar dan “rakyat”. Ini berarti melihat kaum pelajar sebagai sebuah
kategori intelektual dan moral dan bukan sebagai sebuah produk dari
sejarah sosial. Benar, ketergantungan mereka pada masyarakat borjuasi
hanya mempengaruhi mereka secara tidak langsung, melalui keluarga
mereka, dan oleh karena itu ketergantungan ini lemah. Tetapi,
kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan kelas darimana kaum
pelajar ini berasal tercerminkan di dalam perasaan dan opini kaum
pelajar dengan kekuatan yang penuh, seperti sebuah resonator. Sepanjang
seluruh sejarah – di dalam momen-momen heroiknya yang paling hebat dan
juga di dalam periode kebangkrutan moral total – kaum pelajar Eropa
telah menjadi barometer kelas borjuis yang sensitif. Mereka menjadi
ultra-revolusioner, dengan tulus hati dan terhormat bergaul dengan
rakyat, ketika masyarakat borjuis tidak ada jalan keluar kecuali dengan
revolusi. Mereka secara de facto menjadi kekuatan demokrasi borjuis
ketika kebangkrutan politik kelas borjuis mencegah mereka [kelas
borjuis] untuk memimpin revolusi, seperti yang terjadi di Vienna pada
tahun 1848. Tetapi mereka [kaum pelajar] juga menembaki kaum buruh pada
bulan Juni pada tahun yang sama, di Paris, ketika kaum borjuis dan kaum
buruh saling berhadapan di barikade yang berseberangan. Setelah
peperangan Bismark telah menyatukan Jerman dan memenuhi keinginan kelas
borjuis, kaum pelajar Jerman dengan cepat menjadi figur yang mabuk
dengan bir dan penuh dengan kesombongan, yang bersama-sama dengan
pejabat militer Prusia selalu muncul di koran-koran satiris. Di Austria,
para pelajar menjadi pembela eksklusifitas nasional dan sovisnisme[8]
militan, seiring dengan menajamnya konflik antara
nasionalitas-nasionalitas yang berbeda di negara tersebut untuk
menguasai pemerintah. Dan tidak diragukan bahwa di dalam semua
transformasi sejarah ini, bahkan yang paling menjijikkan sekalipun, kaum
pelajar menunjukkan ketajaman politik, dan kesiapan untuk berkorban,
dan idealisme yang militan; kualitas-kualitas yang sangat diandalkan
oleh Adler. Walaupun kaum filistin[9]
berumur 30 atau 40 tidak akan mengambil resiko mengorbankannya wajahnya
untuk diremukan demi “kehormatan” yang abstrak, anaknya akan melakukan
itu, dengan semangat yang tinggi. Para pelajar Ukraina dan Polandia di
Universitas Lvov baru-baru ini menunjukkan sekali lagi kepada kita bahwa
mereka bukan hanya tahu bagaimana memimpin tendensi nasional atau
politik sampai garis akhir tetapi juga tahu bagaimana menyongsongkan
dada mereka di depan moncong senjata. Tahun lalu para pelajar German di
Prague siap menghadapi kekerasan massa untuk menunjukkan di jalanan hak
mereka untuk eksis sebagai sebuah masyarakat Jerman. Disini kita
saksikan idealisme militan – kadang-kadang seperti ayam jago – yang
merupakan karakteristik bukan dari sebuah kelas atau sebuah ide tetapi
dari sebuah kelompok-umur; di pihak yang lain, isi politik dari
idealisme ini sepenuhnya ditentukan oleh semangat historis kelas-kelas
darimana para pelajar tersebut berasal dan kemana dia akan kembali. Dan
ini alami dan tidak terelakkan.
Pada analisa yang terakhir, semua kelas yang kaya mengirim anak
mereka ke universitas dan bila para pelajar ini, ketika ada di
universitas, menjadi sebuah tabula rasa (kertas kosong – Ed.)
dimana sosialisme dapat menulis pesannya, apa jadinya keturunan kelas
dan determinisme sejarah yang tua dan malang ini?
***
Kita tetap harus memperjelas satu aspek lainnya, yang akan mendukung dan menentang Adler.
Satu-satunya cara untuk menarik kaum intelektual ke sosialisme,
menurut Adler, adalah dengan mengedepankan tujuan akhir dari gerakan
sosialis, di dalam keseluruhannya. Tetapi tentu saja Adler tahu bahwa
tujuan akhir ini menjadi semakin jelas dan menjadi semakin lengkap
seiring dengan progres konsentrasi industri, proletarianisasi strata
menengah dan intensifikasi antagonisme kelas. Terpisah dari kehendak
para pemimpin politik dan perbedaan-perbedaan dalam taktik nasional, di
Jerman “tujuan akhir” ini berdiri dengan jauh lebih jelas dan lebih
segera dibandingkan di Austria dan Itali. Tetapi proses sosial yang sama
ini, yakni intensifikasi pertentangan antara buruh dan kapital,
mencegah kaum intelektual dari menyeberang ke partai buruh. Jembatan
antara kelas-kelas runtuh, dan untuk menyeberang, seseorang harus
melompati sebuah jurang yang semakin dalam seiring dengan berlalunya
waktu. Oleh karena ini, pararel dengan kondisi-kondisi yang secara
objektif membuat lebih mudah kaum intelektual untuk memahami secara
teori esensi dari kolektivisme, halangan-halangan sosial tumbuh semakin
besar yang mencegah kaum intelektual untuk bergabung dengan pasukan
sosialis. Bergabung dengan gerakan sosialis di negara maju manapun,
dimana kehidupan sosial eksis, bukanlah sebuah tindakan spekulatif,
tetapi sebuah tindakan politik, dan disini kondisi sosial menang melawan
logika teori. Dan akhirnya ini berarti bahwa sekarang lebih sulit untuk
memenangkan kaum intelektual dibandingkan kemarin, dan akan lebih sulit
esok hari dibandingkan sekarang.
Akan tetapi, di dalam proses ini juga ada sebuah “perpecahan di dalam
proses yang berjalan lambat ini”. Sikap kaum intelektual terhadap
sosialisme, yang sudah kita jelaskan sebagai sikap yang terasingkan yang
semakin membesar dengan tumbuhnya gerakan sosialis, dapat dan harus
berubah secara pasti sebagai akibat dari perubahan politik secara
objektif yang akan menggeser perimbangan kekuatan sosial secara radikal.
Di antara gagasan-gagasan Adler, sebanyak ini yang benar: bahwa kaum
intelektual ingin mempertahankan eksploitasi kapitalis tidak secara
langsung dan tidak tanpa syarat, selama kaum intelektual secara materi
tergantung pada kelas kapitalis. Kaum intelektual bisa menyeberang ke
kolektivisme bila mereka dapat melihat kemungkinan kemenangan
kolektivisme yang segera, bila kolektivisme muncul di hadapan
mereka bukan sebagai sebuah idealisme dari kelas yang berbeda, jauh, dan
asing [baca kelas buruh – Ed.] tetapi sebagai sesuatu yang dekat dan
nyata; dan akhirnya, bila – dan ini bukan kondisi yang paling tidak
penting – perpecahan politik dengan kelas borjuis tidak mengancam setiap
pekerja-otak dengan konsekuensi materi dan moral yang menyeramkan.
Kondisi-kondisi seperti itu hanya bisa diciptakan bagi kaum intelektual
Eropa melalui kekuasaan politik sebuah kelas sosial yang baru; dan
sedikit banyak melalui sebuah periode perjuangan langusng dan segera
untuk kekuasaan tersebut. Apapun yang menjadi sebab keterasingan kaum
intelektual Eropa dari rakyat pekerja – dan keterasingan ini akan tumbuh
semakin besar, terutama di negara-negara kapitalis muda seperti
Austria, Itali, dan negara-negara Balkan – di sebuah epos rekonstruksi
sosial yang hebat kaum intelektual – mungkin lebih awal dari pada
kelas-kelas intermediate lainnya – menyeberang ke sisi pembela
masyakarat yang baru. Sebuah peran yang besar akan dimainkan oleh
kualitas sosial kaum intelektual dalam koneksinya dengan ini, yang
membedakan mereka dari kelas borjuis kecil komersial dan industrial dan
kelas tani: hubungan okupasinya dengan cabang kebudayaan kerja sosial,
kapasitasnya dalam menggeneralisasi teori, fleksibilitas dan mobilitas
cara berpikirnya; pendeknya, intelektualitas mereka. Dihadapi
dengan kenyataan pemindahan seluruh aparatus masyarakat ke tangan yang
baru [baca kelas buruh – Ed.], kaum intelektual Eropa akan mampu
meyakinkan diri mereka bahwa kondisi baru yang tercipta ini tidak akan
mencampakkan mereka ke jurang dalam tetapi justru akan membuka
peluang-peluang yang tak terbatas bagi mereka untuk mengaplikasikan
kekuatan-kekuatan teknik, organisasi, dan ilmiah; dan mereka akan bisa
membawa ke depan kekuatan-kekuatan tersebut dari barisan mereka, bahkan
pada periode awal yang sangat kritis ketika rejim yang baru harus
menghadapi kesulitan-kesulitan teknik, sosial, dan politik yang besar.
Tetapi bila penaklukan aparatus masyarakat tergantung sebelumnya
pada bergabungnya kaum intelektual ke partai kaum proletar Eropa, maka
prospek kolektivisme sangatlah buruk – karena, seperti yang sudah kita
coba tunjukkan di atas, bergabungnya kaum intelektual ke Sosial
Demokrasi di dalam kerangka rejim borjuis, berlawanan dengan
harapan-harapan Max Adler, menjadi semakin mustahil seiring dengan
berlalunya waktu.
Catatan
[1]
Partai Sosialis Revolusioner dibentuk pada tahun 1902, mewarisi banyak
ide dan praktek dari Partai Kehendak Rakyat dan Narodniki. Mereka
menekankan bahwa kaum tani adalah kelas yang revolusioner, bukan pekerja
kota. Pada tahun 1917, partai SR pecah menjadi SR Kiri dan SR Kanan. SR
Kanan mendukung Pemerintahan Sementara sedangkan SR Kiri beragitasi
untuk penggulingannya. Dengan munculnya pemerintahan Soviet, SR Kiri
bergabung dengannya namun SR Kanan meneruskan taktik teroris mereka dan
akhirnya dilarang.
[2]
Max Adler (1873-1937) adalah seorang kaum intelektual, politisi, dan
ahli filosofi dari Austria. Dia adalah perwakilan dari garis pemikiran
Austromarxisme.
[3]
Sebelum tahun 1914, semua kaum Marxis and Sosialis menyebut diri mereka
sebagai kaum Sosial Demokrat. Setelah pengkhianatan parta-partai Sosial
Demokrasi yang mendukung Perang Dunia Pertama (tahun 1914), kaum Marxis
revolusioner mencampakkan nama Sosial Demokrasi untuk memisahkan diri
mereka dari kaum reformis.
[4]
Internasional Kedua - Pada tahun 1880, Partai Sosial Demokrat Jerman
mendukung seruan dari kamerad-kamerad Belgia untuk mengadakan kongres
sosialis internasional pada tahun 1881. Kota kecil bernama Chur dipilih
dan kaum sosialis Belgia, Parti Ouvrier dari Perancis, Sosial Demokrat
Jerman dan Sosial Demokrat Swiss berpartisipasi dalam persiapan kongres
yang akhirnya menuju pada pembentukan Sosialis Internasional atau
Internasionale Kedua. Tidak seperti Internasionale Pertama,
Internasionale Kedua terdiri dari partai-partai politik yang memiliki
pemimpin terpilih, program politik dan keanggotaan yang berbasiskan di
negerinya masing-masing. Seksi nasional dari Internasionale Kedua
membangun serikat buruh, terlibat dalam pemilihan umum dan sangat
terlibat dalam kehidupan klas pekerja di negerinya masing-masing.
Permulaan Perang Besar pada tahun 1914 dan krisis nasional dan revolusioner yang disebabkan perang menyebabkan krisis didalam Internasionale Kedua. Kaum Sosial Demokrat bertemu di Zimmerwald pada tahun 1915 untuk mencoba membentuk platform oposisi bersama terhadap pembantaian yang terjadi dalam Perang. Konferensi Zimmerwald gagal untuk menyatukan kaum Sosial Demokrat ataupun mengakhiri Perang. Namun konferensi tersebut mampu menyatukan sebuah Sayap Kiri yang mendukung Revolusi Rusia dan memberikan basis bagi Internasional Ketiga (Komunis Internasional).
Tokoh-tokoh utama dalam gerakan pekerja internasional dalam periode ini adalah: Karl Kautsky, Rosa Luxemburg, Karl Liebknecht, G V Plekhanov, August Bebel, Clara Zetkin, Daniel De Leon, Franz Mehring dan V I Lenin.
Permulaan Perang Besar pada tahun 1914 dan krisis nasional dan revolusioner yang disebabkan perang menyebabkan krisis didalam Internasionale Kedua. Kaum Sosial Demokrat bertemu di Zimmerwald pada tahun 1915 untuk mencoba membentuk platform oposisi bersama terhadap pembantaian yang terjadi dalam Perang. Konferensi Zimmerwald gagal untuk menyatukan kaum Sosial Demokrat ataupun mengakhiri Perang. Namun konferensi tersebut mampu menyatukan sebuah Sayap Kiri yang mendukung Revolusi Rusia dan memberikan basis bagi Internasional Ketiga (Komunis Internasional).
Tokoh-tokoh utama dalam gerakan pekerja internasional dalam periode ini adalah: Karl Kautsky, Rosa Luxemburg, Karl Liebknecht, G V Plekhanov, August Bebel, Clara Zetkin, Daniel De Leon, Franz Mehring dan V I Lenin.
[5] Simplicissimus adalah sebuah majalah satiris mingguan yang diterbitkan di Jerman pada tahun 1896. Ini adalah koran kaum intelektual liberal.
[6]
Anton Menger (1841-1906) adalah seorang profesor hukum dari Austria.
Dia menulis banyak buku mengenai reformasi hukum untuk membela hak-hak
rakyat miskin dan buruh. Beberapa buku yang dia tulis di antaranya: Hak untuk memiliki seluruh hasil produksi dan Hukum sipil dan kaum miskin.
[7]
Atlanticus, nama pena Karl Ballod atau Karlis Balodis (1864-1931),
seorang ahli statistik ekonomi dari Latvia. Menjabat sebagai profesor di
Universitas Berlin. Dia menulis banyak buku mengenai ekonomi sosialisme
dan terlibat di dalam perencanaan proses ekonomi Uni Soviet.
[8] Sovinisme: nasionalisme sempit
[9] Filistin adalah seseorang yang tidak tertarik dengan persoalan intelektual
Sumber: The Intelligentsia and Socialism. Leon Trotsky Internet Archive
Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009
Pertama kali diterbitkan di The New International Vol 4. No.8, Agustus 1938, hal. 249-250
Sumber: The Intelligentsia and Socialism. Leon Trotsky Internet Archive
Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009
Pertama kali diterbitkan di The New International Vol 4. No.8, Agustus 1938, hal. 249-250