Bermimpi Indonesia Merdeka dari Utang
Ketergantungan pada utang luar
negeri dan intervensi asing membelenggu Indonesia untuk bisa membuat
lompatan-lompatan jauh ke depan dalam perbaikan ekonomi. Benarkah Indonesia
sekarang ini mengalami apa yang disebut sebagai Fisher’s Paradox?
Mengapa semakin besar utang luar
negeri yang dibayar, semakin besar akumulasi utang? Benarkah kita sudah merdeka
secara ekonomi?
Seorang panelis pada Diskusi
”Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030” pekan lalu mengatakan, sampai
sekarang ia tidak melihat ada keinginan dan komitmen jelas dari pemerintah
untuk menghentikan ketergantungan pada utang atau keluar dari jerat utang.
Hal ini bisa dilihat dari tidak
adanya langkah signifikan yang ditempuh pemerintah untuk mengurangi beban utang
luar negeri. Mulai dari langkah moderat dengan menolak utang baru hingga
langkah paling radikal meminta penghapusan utang, atau bahkan melakukan
pembangkangan dengan mengemplang utang karena sebagian utang luar negeri yang
ada saat ini dianggap sebagai utang najis (odious debt).
Alih-alih meminta penghapusan utang,
sekadar mempercepat pelunasan utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pun
pemerintah terkesan berat hati. Tahun lalu, keberatan untuk mempercepat
pelunasan utang kepada IMF dikemukakan antara lain oleh Gubernur Bank Indonesia
(BI) Burhanuddin Abdullah.
Menurut Gubernur BI, meskipun tidak
dapat digunakan, dana IMF yang masih tersisa sebesar 7,8 miliar dollar AS bisa
diputar oleh BI untuk menambah penghasilan pemerintah.
Tahun ini, setelah IMF menaikkan
suku bunga pinjaman dari 3,5 menjadi 4,5 persen, keberatan untuk mempercepat
pelunasan utang IMF disuarakan langsung oleh pejabat Departemen Keuangan.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Mulia P Nasution mengatakan pelunasan
utang kepada IMF dapat memancing para spekulan untuk menarik dana mereka dari
Indonesia.
Sikap ini dinilai sebagai upaya
mempertahankan intervensi IMF di negeri ini. Sikap pemerintah yang menolak
anjuran Koalisi Anti-Utang agar menghapuskan utang lama dan menolak utang baru
juga sangat bertolak belakang dengan kecenderungan internasional yang semakin
kritis terhadap utang. Kritik tidak hanya muncul berkaitan dengan efektivitas
utang itu sendiri, tetapi juga sisi kelembagaannya, sisi ideologi, serta
implikasi sosial politiknya.
Dari efektivitas, secara internal
utang luar negeri tidak hanya menghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi
negara-negara pengutang. Utang juga mengakibatkan kontraksi belanja sosial,
merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan ekonomi (Pearson,
1969; Kindleberger dan Herrick, 1997; Todaro, 1987).
Secara eksternal, utang luar negeri
juga meningkatkan ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar
negeri, modal asing, dan juga pada tradisi pembuatan utang luar negeri secara
berkesinambungan (Payer, 1974; Gelinas, 1998).
Dari sisi kelembagaan,
lembaga-lembaga keuangan multilateral penyalur utang luar negeri, seperti IMF,
Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) sendiri dinilai tidak transparan
dan tidak akuntabel. Mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan negara-negara
negara-negara maju pemegang saham utama lembaga-lembaga tersebut, untuk
mengintervensi negara-negara pengutang (Rich, 1999; Stiglitz, 2002; Pincus dan
Winters, 2004).
Dari sisi ideologi, utang luar negeri
dituding telah dipakai oleh negara-negara kreditor, terutama AS, sebagai sarana
untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia dan
”menguras dunia” (Erlerm, 1989). Dari sisi implikasi sosial politik, utang luar
negeri dicurigai sengaja dikembangkan oleh negara-negara kreditor untuk
mengintervensi negara-negara pengutang.
Secara tidak langsung, utang
dianggap juga bertanggung jawab atas lahirnya rezim-rezim diktator, kerusakan
lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi, perdagangan obat-obatan terlarang,
serta terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992; Hanton,
2000).
Masalah utang luar negeri sebenarnya
bukan masalah baru bagi Indonesia, karena Indonesia sudah menjadi pelanggan
utang, bahkan sebelum merdeka. Tetapi, utang baru menjadi masalah serius
setelah terjadi transfer negatif bersih (utang yang diterima lebih besar
dibandingkan cicilan pokok dan bunga utang yang harus dibayar setiap tahun)
dalam transaksi utang luar negeri pemerintah pada tahun anggaran 1984/1985.
Tahun 1950, utang pemerintah
tercatat 7,8 miliar dollar AS, terdiri dari utang warisan Hindia Belanda 4
miliar dollar AS dan utang luar negeri baru 3,8 miliar dollar AS.
Pada awal kemerdekaan, sikap
Soekarno-Hatta sebagai Bapak Pendiri Bangsa cenderung mendua. Di satu sisi,
mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan yang sangat
dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain,
mereka mewaspadai kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana untuk
mencederai kedaulatan Indonesia sehingga mereka cenderung menetapkan
persyaratan cukup ketat dalam membuat utang luar negeri.
Syarat tersebut, negara kreditor
tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, dan suku bunga tidak lebih
dari 3-3,5 persen per tahun. Selain itu, jangka waktu utang cukup lama, untuk
keperluan industri 10-20 tahun dan untuk pembangunan infrastruktur lebih lama
lagi (Hatta, 1970).
Jadi, selain melihat utang luar
negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya
politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Sikap ini pula yang membuat
Soekarno waktu itu dengan gagah, berani mengatakan ”go to hell with your aid”
kepada AS yang berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.
Pemutus
lingkaran setan?
Pasca-Soekarno, utang mengalami
pembengkakan secara dramatis. Orde Baru, dipelopori oleh kelompok orang-orang
terbaik yang disebut Mafia Berkeley, menganggap utang luar negeri sebagai salah
satu langkah tepat untuk memutus lingkaran setan kemiskinan melalui pembangunan
besar-besaran (the big push theory), yang di antaranya dibiayai dengan utang.
Total utang yang pada akhir era
Soekarno baru sebesar 6,3 miliar dollar AS (terdiri dari 4 miliar dollar AS
warisan Hindia Belanda dan 2,3 miliar dollar AS utang baru) membengkak menjadi
54 miliar dollar AS pada akhir pemerintahan Soeharto.
Selama dua tahun era BJ Habibie,
utang bertambah lagi 23 miliar dollar AS menjadi 77 miliar dollar AS. Sekarang
ini total utang luar negeri sekitar 78 miliar dollar AS. Ditambah utang dalam
negeri, pada pascakrisis 1997, total utang Indonesia pernah mencapai sekitar Rp
2.100 triliun.
Dengan total utang Rp 1.318 triliun
dan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa sekarang ini, setiap penduduk
Indonesia (termasuk bayi baru lahir) terbebani utang sekitar Rp 7 juta.
Sementara kekayaan alam dan
kemandirian serta kapasitas kita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terus
tersandera oleh beban membayar cicilan dan bunga utang yang menyita hingga
sepertiga sendiri anggaran belanja APBN. Posisi Utang Rp 1.318 ini terdiri dari
Rp 636,6 triliun utang dalam negeri dan 76,6 miliar dollar AS utang luar
negeri.
Hasil penelitian Reinhard, Rogoff,
dan Savastano tahun 2003 (Almizan Ulva, 2004), batas aman rasio utang luar
negeri (pemerintah dan swasta) terhadap PDB negara berkembang adalah 15-20
persen.
Apabila seluruh portofolio utang
pemerintah dikonversi menjadi utang luar negeri, menurut Almizan Ulva—peneliti
dari Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional
Depkeu—rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB (tahun dasar 2000) pada
2004 adalah sebesar 52,2 persen. Tingginya angka ini menyebabkan risiko gagal
bayar (default) Indonesia juga tinggi.
Sebenarnya utang luar negeri masih
bisa diterima selama itu digunakan dengan baik untuk membangun ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta tidak mengakibatkan beban berlebihan
pada keuangan negara dan tidak diembel-embeli dengan persyaratan yang
memberatkan. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia, utang banyak bocor
sehingga sasaran yang ingin dituju melalui strategi big push theory juga tidak
tercapai.
Prinsip gali lubang tutup lubang
masih terjadi karena untuk membayar utang lama, pemerintah harus terus membuat
utang baru. Akibat salah kelola utang, Indonesia dalam lingkaran setan
perangkap utang (debt trap). Sebuah kajian independen Bank Dunia pernah
menyebutkan, sekitar 30 persen utang luar negeri dikorupsi oleh rezim berkuasa
pada era Soeharto sehingga kemudian muncul anggapan utang itu utang ”najis”
yang tidak pantas dibayar.
Tudingan bahwa lembaga seperti IMF
dan Bank Dunia diboncengi kepentingan perusahaan-perusahaan dari negara-negara
kreditor juga diakui oleh AS. Selama kurun tahun 1980-an hingga awal 1990-an
saja, IMF sudah menerapkan program penyesuaian struktural di lebih dari 70
negara berkembang yang mengalami krisis finansial. Setiap tahun, Bank Dunia
juga memberikan sekitar 40.000 kontrak kepada perusahaan swasta. Sebagian besar
kontrak ini jatuh ke perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju.
Departemen Keuangan AS mengaku,
untuk setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke lembaga-lembaga multilateral,
perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah itu dari
kontrak-kontrak pengadaan untuk program-program atau proyek-proyek yang
dibiayai dengan pinjaman lembaga-lembaga tersebut.
Ini bukan hanya terjadi pada
pinjaman multilateral. Pinjaman bilateral, seperti dari Jepang, pun biasanya
diikuti persyaratan sangat ketat menyangkut penggunaan komponen, barang, jasa
(termasuk konsultan), dan kontraktor pelaksana untuk pelaksanaan proyek.
Melalui modus ini, selain bisa me-recycle ekses dana yang ada di dalam
negerinya, Jepang sekaligus bisa menggerakkan perusahaan dalam negerinya yang
lesu lewat pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai dengan dana utang ini.ngutang
Dari pinjaman yang disalurkannya
ini, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan negara-negara maju lain sebagai
kreditor jauh lebih besar ketimbang yang dikucurkan ke Indonesia sebagai
pengutang. Dus Indonesia sebagai negara debitor justru menyubsidi negara-negara
kaya yang menjadi kreditornya.
Yang belum terlihat sampai sekarang memang keinginan atau komitmen kuat Pemerintah Indonesia untuk mengurangi utang. Memang benar banyak negara lain berutang. Bahkan, AS yang besar itu pun memiliki utang sangat besar. Tetapi, mereka memiliki kapasitas untuk membayar.
Seperti kata seorang panelis,
kemandirian hanya bisa dibangun jika kita bisa menolong diri sendiri. Dalam
kaitan dengan utang, mungkin menolong diri sendiri untuk keluar dari jebakan
utang.
Hal ini terbuka untuk dilakukan
dengan cadangan devisa yang kini sekitar 43 miliar dollar AS. Namun, tampaknya
pemerintah tidak mengambil kesempatan itu, seperti juga mereka tidak pernah
memaksimalkan diplomasi utang untuk mengurangi beban utang yang ada.
Untuk bisa menatap 2030 sebagai
bangsa bermartabat dan berdaulat, tidak diintervensi kekuatan atau kepentingan
luar, kita harus berani membebaskan diri dari utang yang bersamanya ada
persyaratan yang mengikat kebebasan kita untuk mengatur ekonomi dalam negeri
kita sendiri sesuai dengan kebutuhan lokal dan demi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Kalaupun tidak langkah drastis
seperti mengemplang utang, setidaknya ada semacam konsensus nasional untuk
menghentikan tradisi membuat utang baru. Visi soal utang dan kemandirian
ekonomi ini yang belum ada sekarang ini.
(Sri Hartati Samhadi)
(Sri Hartati Samhadi)
sumber:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2659164.htm