Agama Ditengah Perayaan Abnormalitas Kebudayaan

Filsuf Sekolah Frankfurt Jurgen Habermas mengatakan bahwa dewasa ini dunia sedang menghadapi die neue Unubersichtlichkeit (ketidakjelasan baru). Dalam situasi macam ini, kita sama-sama tidak tahu, mengapa sesuatu masalah terjadi, dan bagaimana sesuatu bisa diatasi. 

Keresahan filosofis macam Habermas itu dengan amat mudah bisa dirasakan oleh kita, bangsa Indonesia, karena dapat diterjemahkan secara
paralel ke dalam kehidupan praktis: kita tidak mengerti mengapa tiba-tiba meledak kerusuhan yang tak dapat dikontrol, mengepa mendadak nilai rupiah anjlok secara mendadak, mengapa hutan-hutan berasap tebal, dan mengapa orang jadi gemar mengaborsi darah dagingya? 

Di hadapan serba ketidakjelasan itu, segala hal (ideologi atau agama) segera merumuskan keberadaannya masing-masing. Apakah proyek pemanusiaan yang diembannya mengalami kegagalan atau apa yang dibawanya sebenarnya hanya bohong belaka? Ketidakjelasan tersebut juga berimplikasi pada penyadaran segala hal yang “menyombongkan dirinya” sebagai yang “Sok tahu dan sok bisa mengatasi”. Lebih jauh perubahan atau ketidakjelasan ini membawa kita pada pertanyaan mendasar mengenai paradigma pembangunan yang selama ini diterapkan. Karena bukan tidak mungkin segala hal ketidakjelasan tersebut berakar dari paradigma ekonomi yang “keras kepala”.

Pangkal dari kegiatan ekonomi adalah uang, demikian ungkap van Leeuwen dalam De Nacht van Het Kapitaal. Dan uang inilah yang menyebabkan manusia kehilangan dirinya. Sebab ia ternyata tidak sekedar alat tukar dalam jalin kelindan ekonomi, ia lebih tampak sebagai Tuhan, “sesuatu yang mempengaruhi segala hal”, dalam kehidupan manusia. 

Perilaku manusia akibat dominasi uang begitu mencolok. Ini tampak dalam berbagai macam tingkah laku, yang basis tujuan akhirnya adalah uang. Fenomen positif ialah orang bekerja mencari nafkah yang melahirkan aneka macam profesi. Fenomena negatifnya lebih kompleks. Ini berupa tingkah laku atau profesi yang menyimpang. Demi uang orang jadi menghilangkan kemanusiaanya, dengan menajadi maling, korupsi, kolusi, penipuan dan sejenisnya. Juga demi uang orang membunuh. Melacur. Mengangkangi tempat empuk. Membuat fatwa pesanan, menutupi kebenaran yang seharusnya, dan seterusnya.
 

Ungkapan yang lebih teoritis dikemukakan oleh Daniel Bell, Sosiolog Amerika. Masyarakat, demikian katanya, tersusun dan berubah tergantung pada tiga poros pusat utama; ekonomi, politik, budaya/agama. Ketiganya saling berpacu untuk saling mempengaruhi, jika salah satunya “menang” maka yang lainnya akan mengikuti aturan main” poros pemenang. Misalnya, prinsip ekonomi yang lebih menggunakan rasionalitas bertujuan, meminjam ungkapan Weber, dan prinsip economizing (yang menhasilkan uang banyak itulah yang benar, rasional, Yang merugi tentu tidak rasional, omong kosong) akan mempengaruhi aturan main agama, budaya, atau politik di zaman ini. Paradigma ekonomi, atau ekonomi sebagai panglima, yang diterapkan di negeri ini akan menghasilkan pengukuran sepihak terhadap agama, politik, budaya dengah hanya menggunakan ukuran ekonomisasi. Semua hal, termasuk manusia dan kemanusiaanya akan terpaksa mengikuti aturan ekonomi. Misalnya lagi, penggusuran yang dilakukan di kota-kota besar barangkali dilakukan lebih dalam rangka ekonomisasi (pemanfaatan ruang demi pengerukan keuntungan, demi devisa negara yang tinggi dan dinamis) tidak dalam rangka mewujudkan “pembangunan manusia seutuhnya”. Pada titik inilah agama dimintai perannya. Apakah agama hanya bisa jadi penonton yang sering terkaget-keget?

Bahwa perilaku manusia, atau pembangunan jadi gila “uang”, itu bukan salah uang atau ekonomi. Bagaimanapun, masih salah manusia. Justru karena semuanya bermula dari manusia yang bermasalah inilah, maka agama segera harus melaksanakan tugasnya, “mengarahkan pada jalan yang ma`ruf dan mencegah pada jalan yang rusak”. Maknanya teologi tak boleh menafikan ekonomi. Urusan teologi bukan cuma Tuhan. Dalam teologi, Tuhan tidak dapat disebut tanpa lebih dahulu menyebut manusia dengan segala ihwal perkaranya. (Sindhunata, 1997: 30)

Perkara yang dihadapi manusia kini adalah perkara pasar, uang. Kita, hampir di semua tempat, berhadap-hadapan dan ketakutan, serta tunduk, pada kekuasaan uang. Uang sudah sedemikian “maha kuasa” dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ia sekali lagi lebih tampak sebagai “Tuhan” ketimbang Tuhan yang sebenarnya. Semua ini, barangkali, bermula dari proyek modernisme. Masyarakat modern, dengan proyek rennaessance-nya, adalah masyarakat yang sengaja “menjauhkan” diri dari agama. Dengan diyakininya “keperkasaan dan keserbacukupan” akal orang merasa dimerdekakan dari yang absolute. Mereka merasa lega, lepas dari beban aneka macam yang absolute, Tuhan dalam agama-agama resmi.
 

Justru disinilah letek kekeliruannya. Sebab, orang atau masyarakat akan tetap butuh “Yang Absolute” –sebagai semacam sarana pengikat. Hal ini dibuktikan kemudian dalam percakapan filsafat di Barat. Walaupun mereka telah merasa menghilangkan Tuhan versi Agama, pada kenyataanya mereka harus menciptakan rasa aman dalam dirinya dengan menciptakan metafisika baru. Mereka menciptakan Tuhan-Tuhan baru demi kedamaian hidupnya. Dalam konteks ini benar apa yang dikemukakan Feurbach, bahwa manusia sebenarnya menciptakan Tuhannya dengan daya hayalnya sendiri. Teori ini kemudian Dalam sejarah, sebagai bukti, kita menemukan Marx, yang telah menganggap agama (tentu saja Tuhan di dalamnya) hanyalah “candu rakyat” bagi kepentingan kapitalisme untuk kemudian ia memproklamirkan bahwa Agama masyarakat modern yang telah kehilangan Tuhan adalah ekonomi. Nietzsche, walaupun ia sekedar menggambarkan apa yang telah, sedang dan akan terjadi di masyarakat modern, ia mengemukakan bahwa telah ada “pematian Tuhan” dan untuk itu menuasia harus membuta dirinya “sempurna” agar sanggup menggantikanTuhan dengan dirinya sendiri. Tentu saja kita juga mengenal Sartre, Freud, Derrida, dan banyak lagi. Singkatnya kita melihat dongeng tentang “kutukan” bahwa manusia bagaimanapun harus mempunyai sesuatu yang absolute dalam hidupnya. 

Penghilangan yang absolute dalam kehidupan manusia pada satu sisi, seperti dikemukakan di atas, menghasilkan kegelisahan karena kegelisahan pencarian yang tak kunjung usai. Satu penemuan yang Absolute ditolak dan digantikan oleh yang lain, semisal Roh Absolute Hegel sebagai metafisika harus diganti dengan Ekonomi Marx, dan seterusnya. Kondisi ini menyebabkan manusia terlempar pada lembah yang tak pernah memberi ijin bagi kebahagiaan. Orang modern menderita luka yang terus bernanah, kerinduan kemanusiaannya menemeukan yang absolute berhadapan dengan keinginannya untuk dewasa (mundigkeit), bebas, secara membabibuta.

Pada sisi lain kedewasaan manusia modern menyebabkan apa yang dihasilkan menjadi tak terkendali. Apa pun yang bisa dipikirkan dan logis selalu mungkin dan harus dilakukan. Pertimbangan moral atau rasa menjadi usang untuk digunakan sebagai rujukan. Kemanusiaan menjadi bahan mainan. Akal begitu mendominasi kehidupan manusia, sehingga apa yang dikeluarkan darinya benar dengan sendirinya. Tak terbantahkan. Inilah yang disebut dengan logosentris.
 

Kebasolutan akal ini kemudian, dan inilah awal kekacauan, tidak hanya eksis dalam dunia pemikiran. Sang Subyek pemikir ternyata mempunyai atau menyimpan nafsu “untuk berkuasa” (the will to power), demikian ungkap Nietzsche. Sehingga apa pun yang dipikirkan tidak melulu demi kepentingan pikiran itu sendiri atau “pengadaan” diri, seperti dalam adagium Descartes cogito ergo sum. Kegiatan berpikir pada akhirnya menjadi kepenjangan dari nafsu untuk “menguasai” yang lain. Maka ada perubahan adagium, bukan lagi “aku berpikir maka aku ada” tetapi “aku berpikir maka aku berkuasa”. Kevenderungan ini jelas terbaca sejak Bacon mengemukan bahwa mengetahui adalah menguasai yang lain.

Atas nama keinginan untuk berkuasa inilah kemudian pemikiran modern membagi realitas secara tegas dan membabi buta. Ada Subyek, yang Satu (The One) yang berkuasa memberi makna ada; ada Obyek, Yang lain (The Other) sebagai yang bisu, yang “ada”-nya ditentukan oleh Yang Satu. Realitas Yang Lain inipun kemudian atas nama nafsu untuk berkuasa melabar. Jika pada awalnya hanyalah alam semesta, sebagai penolakan atas perlakuan agama yang menyakralkan alam semesta, kemudian melebar pada manusia lain, selain Barat modern. Manusia dari masyarakat “primitif” di luar benua Eropa adalah “yang lain” juga yang bisu, tak beradab, dan harus diajarkan peradaban dengan cara pemaksaan kebenaran rasional. Kebenaran hanya menjadi milik rasionalisme Barat. Kebenaran hanya ada pada logosentris.

Kenyataan ini kemudian menggejala pada apa pun yang ditemukan oleh pemikiran Barat. Lebih lagi karena adanya keyakinan bahwa rasio telah benar dengan sendirinya, dan manusia Baratlah yang memiliki rasio yang penuh, memnuat mereka mengukur segala hal dengan rasio dan mengukur segala manusia dengan peradaban manusia Barat. Peradaban modern dalam fase ini menghasilkan apa yang disebut dengan generalisasi dan keuniversalan sains: segala hal bisa diukur dengan satu parameter saja. Pada titik inilah peradaban modern mengalami “titik nadir” pergerakannya. Modernitas sebagai upaya mendewasakan manusia dari kekanak-kanakan yang cengeng terhadap aturan alam dan agama. Akhirnya menjerumuskan manusia pada “pemiskinan” dirinya sendiri. Akal yang dirayakan sebagai “Tuhan” baru yang menyelamatkan manusia akhirnya harus menghasilkan dan berhadapan dengan sejumlah Perang besar, PD I & PD II, sebuah tragdei yang tak pernah terjadi sebelumnya. Bukankah sebelumnya perang paling banter hanya terjadi antar negara dan tidak pernah menghasilkan korban “bom atom” di Hiroshima-Nagasaki, atau Holocoust di Jerman? Akal pada akhirnya harus menemukan manusia-manusia yang “teranomie” untuk akhirnya “bunuh diri”, demikian ungkap Durkheim. Akal pada akhirnya harus juga menemukan Segerombolan manusia barat yang “Lari dari Kebebasan” untuk masuk pada sekte-sekte spiritual untuk kemudian bunuh diri massal, karena dalam kebebasan Akal ternyata manusia tidak menemukan kepastian kebahagiaan.
 

Jungkir baliknya kenyataan yang dihadapi akal ini menyebabkan orang merayakan kematian proyek modern. Apa yang dicita-citakan modernisme telah gagal, ia tidak menghasilkan kebehgiaan malah menghasilkan kegegalan dan kiamat kecil dalam kehidupan. Untuk itu apa yang dilakukan dan dianggap benar oleh modern dipertanyakan, digugat, dan diragukan kebasahannya. Epistemologi modern yang logosentrime mulai digugat, kebenaran tidak lagi milik manusia berasio tapi bisa menjadi milik siapa saja. Kebenaran agama, mistik, seni yang semula harus mengikuti kebenaran filsafat pada zaman ini menemukan kebenerannya kembali. Zaman ini kemudian disebut dengan Postmodernisme. Suat zaman, di mana semua orang merayakan apa yang disebut Wittgenstein sebagai “language games”, kebenaran petaka permainan bahasa.

Ada beberapa ciri spesifik dari Postmodernisme. Yang pertama, ia menolak kebenaran tunggal yang dahulu diwartakan modern, posmo mencoba merayakan kejamakan kebenaran. Apapun atau siapapun yang menyatakan keuniversalan suatu kebenaran adalah suatu kebohongan yang dipenuhi “nafsu untuk menguasai”. Keyakinan ini kemudian menghasilkan pembongkaran pada apa yang selama ini diyakini di Barat, yaitu dialog sebagai media pencarian kebenaran harus digantikan dengan paralogi. Dialog, demikian ungkap Lyotard, hanyalah percakapan pencarian kebenaran yang memaksakan satu kebenaran yang “kedengaranya” lebih logis pada kebenaran yang “kedengarannya” tidak logis, dan dengan demikian bukan kebenaran yang ditemukan tetapi pemaksaan; sedangkan paralogi memberi kesempatan semua kebenaran untuk merasa benar tanpa harus terpaksa mematut-matut diri pada kebenaran yang “kedengarannya logis”. Yang Kedua, Posmo menggejala pada dunia seni murni, seni hiburan, dan arsitektur. Seni modern yang dahulu “berlagak” pasti dan harus tampak rasional serta bermakna bagi “pendewasaan” manusia digugat dan dijadikan parodi pada seni posmo. Apa yang dianggap sakral pada zaman modern dijadikan bahan ledekan dalam gaya satire oleh seni posmo. Seni masa lalu yang sakral, masa kini, dan masa depan dicampuradukkan dalam satu kesempatan ruang dan waktu. Dalam buku Postmodernisme For Beginner kita menemukan gambar patung Michael Angelo yang mengenakan kacamata hitam dengan batang merah, suatu campuran dari masa lalu dan masa kini, sekaligus sebuah parodi atas kebudayaan Yunani yang dahulu diagungkan modernisme. Pada seni hiburan pun kita menemukan kenyataan ini. Segala hal ditampilkan dalam bentuk pesan yang seenaknya atau samar. Masa lalu, masa kini bercampur, seperti juga kebenaran dan kejahatan bercampur dalam satu ruang dan waktu. Bukankah tidak ada satupun yang bisa “berlagak” paling benar, sekaligus agama. Maka di televisi, sebagai gambaran dunia, terlihat siaran agama bercampur aduk dengan iklan Triumph yang mengeksploitasi dada yang menonjol. Semuanya dianggap benar dan kita terbukti tidak risih.
 

Pada kondisi inilah agama menemukan lawan yang berat. Keberadaannya yang dahulu sudah “dibuang: oleh peradaban modern kini harus menganggap diri “Sama dan sederajat” dengan kecabulan Madonna, sembari ia harus terus mewartakan dan bertanggung jawab atas kebaikan manusia di dunia. Agama atau teologi tentu harus bisa menyiasati dirnya agar bisatampil dengan baik di dunia baru ini. Dan Agama atau teologi Isalam tidak mesti harus memilih apa yang berkembang selama ini dalam rangka bergejalanya posmo. Teologi Islam tidak harus menjadi Posmodernisme reaksioner” yang merayakan keruntuhan modern karena menganggap telah datang zaman yang memberi peluang bagi agama, padahal yang datang zaman yang lebih edan dan mendupak agama. Atau tidak harus menjadi “posmodernisme konsumen”, seperti Madonna yang menjadikan trend posmodern sebagai gaya tampilnya agar dia lebih populer sambil ia terus menerus kehilangan dirinya. (Charles Jenks, 1991: xii)

Agama harus tetap dewasa sebagaimana nabi-nabi menhadapi permasalahan hidupnya dalam sejarah. Ia tidak reaksioner dan terbawa arus zaman sekaligus ia haru tampil sebagai pemenang yang menenangkan. Mungkinkah?