Aliran Berpikir dalam Filsafat
Eksistensialisme
Mengapa saya ada? Apa tujuan hidup saya? Apa makna
kehidupan yang ada pada saya ini? Itulah sejumlah pertanyaan yang
berkenaan dengan keberadaan diri. Dalam filsafat, pertanyan tersebut
merupakan pertanyaan yang bersifat eksistensialisme.
Smith dan Raeper menyebutkan bahwa filsafat eksistensialisme ini merupakan filsafat para pemberontak. Eksistensialisme dipusatkan pada diri individu dan masalah-masalah eksistensi. Kata-kata kunci yang sering kembali dalam tulisan-tulisan para eksistensialis ialah kebebasan, individualitas, tanggung jawab, dan pilihan. Oleh karena itu, filsafat ini cenderung bersifat subjektif; menyangkut saya dan bagaimana saya hidup.
Ada tiga filsuf eksistensialis yang terbesar, yaitu Soren Kierkegaard (1813 -- 1855), Martin Heidegger (1889 -- 1976), dan Jean Paul Sartre (1905 -- 1980). Dari ketiganya, Kierkegaard dianggap sebagai pelopor filsafat ini, bapak eksistensialisme.

Altruisme
Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa
memperhatikan diri sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada
dalam banyak budaya dan dianggap penting oleh beberapa agama. Gagasan
ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika. Beberapa aliran
filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu
keburukan. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan
diri sendiri.
Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
Konsep ini telah ada sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat dan etika, dan akhir-akhir ini menjadi topik dalam psikologi (terutama psikologi evolusioner), sosiologi, biologi, dan etologi. Gagasan altruisme dari satu bidang dapat memberikan dampak bagi bidang lain, tapi metoda dan pusat perhatian dari bidang-bidang ini menghasilkan perspektif-perspektif berbeda terhadap altruisme.
Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
Konsep ini telah ada sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat dan etika, dan akhir-akhir ini menjadi topik dalam psikologi (terutama psikologi evolusioner), sosiologi, biologi, dan etologi. Gagasan altruisme dari satu bidang dapat memberikan dampak bagi bidang lain, tapi metoda dan pusat perhatian dari bidang-bidang ini menghasilkan perspektif-perspektif berbeda terhadap altruisme.

Empirisme
Empirisme
adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme
di ambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau
pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari
rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran
yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau
bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit
dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai
dengan pengalaman manusia.
Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
· Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
· Semua
pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak
langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional
logika dan matematika).
· Akal
budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas
tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita.
Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari
pengalaman.
· Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Tokoh-Tokoh Empirisme
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas
Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh
berikutnya, John Locke dan David Hume.
a. John Locke (1632-1704)
Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera.
Dengan ungkapan singkat Locke :
Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi.
Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).
b. David Hume (1711-1776).
David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Hume seorang nyang menguasai hukum, sastra dan juga filsafat. Karya tepentingnya ialah an encuiry concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the principles of moral yang terbit tahun 1751.
Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat yaitu I never catch my self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang disistematiskan ) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan “(observasi ) dan uji coba (eksperimentasi), kemudian menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan akhirnya pengetahuan, rangkaian pemikiran tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut:
Beberapa Jenis Empirisme
1. Empirio-kritisisme
Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
2. Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut :
· Ada
batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip
kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada
pengalaman.
· Semua
proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada
proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan
data indera yang ada seketika
· Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
3. Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar untukkeraguan. Dalam situasi semacam iti, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.

Epikurisme
Nama
Epikurisme berasal dari tokoh aliran yaitu EPIKUROS (341-270). Filsafat
EPIKUROS hanya diarahkan pada satu tujuan, yaitu: memberi kebahagiaan
kepada manusia. Jadi yang diutamakan etika, adapun yang menjadi dasar
etika ini logika dan fisikanya.
Logika dan Fisika.
Ajarannya tentang logika dan fisikanya adalah sebagai berikut: Sumber pengetahuan – menurut EPIKUROS – ialah pengalaman: pengalaman berkali-kali dapat mengakibatkan pengertian. Pengertian ini dapat membawa orang pada pengetahuan tentang dasar sedalam-dalamnya dan tersembunyi. Adapun dasar sedalam-dalamnya bagi semua hal itu dinamainya atom. Atom ini terlalu kecil dan tak tercapai oleh indera. Karena geraknya maka terjadilah bermacam-macam benda di dunia ini sekali-kali tak ada hubunganny dengan dewa-dewa.
Jiwa manusia itupun benda juga, tetapi halus. itulah sebabnya maka manusia dapat mencapai pengertian, karena jiwa menerima sinar dari benda lainnya semacam dengan dia. Jiwa tak mungkin tanpa badan, daripada itu tak mungkin ada hidup sesudah badan itu tak ada
Etika
EPIKUROS hendak memberi kebahagiaan yang berupa ketenangan (ataraxia). Manusia hidupnya tidak tenang, karena terganggu oleh takut akan tiga hal, yaitu takut akan marah dewa, takut akan mati serta takut akan nasib.
Takut ini sama sekali tak perlu, tak usalah kita takut. (Jika kita tak takut akan tiga hal itu tentulah kita tenang!).
Maka utarakanlah apa sebabnya kita tak usah takut: Kita tak usah takut akan marah dewa. Segala sesuatunya didunia ini terjadi karena gerak atom, bukanlah karna dewa. Jika sekiranya dewa itu ada, maka mereka hidup didunianya sendiri dan berusaha untuk tenang serta berbahagia juga. Jika sekiranya mereka itu harus marah karena tingkah laku manusia. Alangkah celaka hidup dewa-dewa itu karna harus selalu maran-marah saja!
Terhadap matipun manusia tak usah takut. Jiwa kita itupun dapat dan akan mati, sebab tanpa badani, tak mungkin ada jiwa. Habis hidup ini tak ada lanjutan hidup manusia.
Jadi maut itu malahan melepaskan manusia dari sakit dan sengsara. Lagi pula selama kita masih hidup tak adalah maut,jika maut datang, tak adalah kita!
Kepada nasibpun kita tak usah takut. Segala kejadian di dunia itu ditentukan oleh gerak atom. Bagaimana usaha kita, kita tak dapat mengubahnya. Dengan demikian tak adalah alasan sedikitpun untuk takut.
Segala nafsu dan cenderung manusia itu terarahkan pada kebahagiaan. Itu tidak berarti bahwa segala nafsu diikuti saja, sebab nafsulah yang mengakibatkan kesengsaraan. Maka dari itu haruslah nafsu itu diatur. Mengatur nafsu itulah kebijaksanaan.

Idealisme
Idealisme ialah filsafat yang
pandangan yang menganggap atau memandang ide itu primer dan materi
adalah sekundernya, dengan kata lain menganggap materi berasal dari ide
atau diciptakan oleh ide.
Dengan David Hume sebagai filsuf idealis subyektif, kita dapat menggambarkan seluruh ahli filsafat idealis dari Plato sampai Hegel, “if I go into myself”, “kalau saya memasuki diri saya sendiri”, kata Hume, maka saya jumpai “bundles of conception”, bermacam pengertian, bermacam-macam gambaran tentang benda. “Engkau”, kata Hume cuma “ide” bagi saya (Hume).
Tapi “Engkau” buat Hume adalah saya buat Udin, misalnya. Jadi Udin bagi Hume hanyalah “Ide”, tetapi Hume juga cuma “ide” buat Udin, Udin dipandang dari pihak Hume hanya Ide, hanya gambaran di otak Hume begitu juga sebaliknya. Dengan begitu Hume membatalkan dirinya sendiri , mengakui bahwa dia sendiri tidak ada dan, hanya ide ???
Terhadap adanya pandangan idealisme demikian itu, Lenin dengan tajam mengeritik idealisme sebagai filsafat yang tanpa otak dan dikonsolidasikan oleh kepentingan klas-klas yang berkuasa -- klas-klas pemilik budak, kaum feodal dan kaum borjuasi --.
Aliran-aliran dalam Filsafat Idealisme
1. Idealisme Obyektif
Idealisme obyektif adalah suatu aliran filsafat yang pandangannya idealis, dan idealismenya itu bertitik tolak dari ide universil (Absolute Idea- Hegel / LOGOS-nya Plato) ide diluar ide manusia. Menurut idealisme obyektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil.
Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materiil, yang ada secara abadi diluar manusia, sesuatu yang bukan materiil itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya. Dalam bentuknya yang amat primitif pandangan ini menyatakan bentuknya dalam penyembahan terhadap pohon, batu dsb-nya.
Akan tetapi sebagai suatu system filsafat, pandangan dunia ini pertama-tama kali disistimatiskan oleh Plato (427-347 S.M), menurut Plato dunia luar yang dapat di tangkap oleh panca indera kita bukanlah dunia yang riil, melainkan bayangan dari dunia “idea” yang abadi dan riil. Pandangan dunia Plato ini mewakili kepentingan klas yang berkuasa pada waktu itu di Eropa yaitu klas pemilik budak. Dan ini jelas nampak dalam ajarannya tentang masyarakat “ideal”.
Pada jaman feodal, filsafat idealisme obyektif ini mengambil bentuk yang dikenal dengan nama Skolastisisme, system filsafat ini memadukan unsur idealisme Aristoteles (384-322 S.M), yaitu bahwa dunia kita merupakan suatu tingkatan hirarki dari seluruh system hirarki dunia semesta, begitupun yang hirarki yang berada dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari dunia ke-Tuhanan. Segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini maupun dalam alam semesta merupakan “penjelmaan” dari titah Tuhan atau perwujudan dari ide Tuhan. Filsafat ini membela para bangsawan atau kaum feodal yang pada waktu itu merupakan tuan tanah besar di Eropa dan kekuasaan gereja sebagai “wakil” Tuhan didunia ini. Tokoh-tokoh yang terkenal dari aliran filsafat ini adalah: Johannes Eriugena (833 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M), Duns Scotus (1270-1308 M), dsb.
Kemudian pada jaman modern sekitar abad ke-18 muncullah sebuah system filsafat idealisme obyektif yang baru, yaitu system yang dikemukakan oleh George.W.F Hegel (1770-1831 M). Menurut Hegel hakekat dari dunia ini adalah “ide absolut”, yang berada secara absolut dan “obyektif” didalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. “Ide absolut” ini, dalam prosesnya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat, dan gejala fikiran. Filsafat Hegel ini mewakili klas borjuis Jerman yang pada waktu itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan klasnya menghendaki suatu perubahan social, menghendaki dihapusnya hak-hak istimewa kaum bangsawan Junker. Hal ini tercermin dalam pandangan dialektisnya yang beranggapan bahwa sesuatu itu senantiasa berkembang dan berubah tidak ada yang abadi atau mutlak, termasuk juga kekuasaan kaum feodal. Akan tetapi karena kedudukan dan kekuatannya masih lemah itu membuat mereka tidak berani terang-terangan melawan filsafat Skolatisisme dan ajaran agama yang berkuasa ketika itu.
Pikiran
filsafat idealisme obyektif ini dapat kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari dengan berbagai macam bentuk. Perwujudan paling umum antara
lain adalah formalisme dan doktriner-isme. Kaum doktriner dan formalis
secara membuta mempercayai dalil-dalil atau teori sebagai kekuatan yang
maha kuasa , sebagai obat manjur buat segala macam penyakit, sehingga
dalam melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan persoalan-persoalan
praktis mereka tidak bisa berfikir atau bertindak secara hidup
berdasarkan situasi dan syarat yang kongkrit, mereka adalah kaum
“textbook-thingking”.
2. Idealisme Subyektif
Idealisme
subyektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak
pada ide manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari
ide manusia. Segala sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau di
masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide manusia atau idenya
sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah
ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.
Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah seorang uskup inggris yang bernama George Berkeley (1684-1753 M), menurut Berkeley segala, sesuatu yang tertangkap oleh sensasi/perasaan kita itu bukanlah bukanlah materiil yang riil dan ada secara obyektif. Sesuatu yang materiil misalkan jeruk, dianggapnya hanya sebagai sensasi-sensasi atau kumpulan perasaan/konsepsi tertentu (“bundles of conception” David Hume (1711-1776 M), -ed), yaitu perasaan / konsepsi dari rasa jeruk, berat, bau, bentuk dsb. Dengan demikian Berkeley dan Hume menyangkal adanya materi yang ada secara obyektif, dan hanya mengakui adanya materi atau dunia yang riil didalam fikirannya atau idenya sendiri saja.
Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah seorang uskup inggris yang bernama George Berkeley (1684-1753 M), menurut Berkeley segala, sesuatu yang tertangkap oleh sensasi/perasaan kita itu bukanlah bukanlah materiil yang riil dan ada secara obyektif. Sesuatu yang materiil misalkan jeruk, dianggapnya hanya sebagai sensasi-sensasi atau kumpulan perasaan/konsepsi tertentu (“bundles of conception” David Hume (1711-1776 M), -ed), yaitu perasaan / konsepsi dari rasa jeruk, berat, bau, bentuk dsb. Dengan demikian Berkeley dan Hume menyangkal adanya materi yang ada secara obyektif, dan hanya mengakui adanya materi atau dunia yang riil didalam fikirannya atau idenya sendiri saja.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari filsafat ini adalah, kecenderungan untuk bersifat egoistis “Aku-isme” yang hanya mengakui yang riil adalah dirinya sendiri yang ada hanya “Aku”, segala sesuatu yang ada diluar selain “Aku” itu hanya sensasi atau konsepsi-konsepsi dari “Aku”. Untuk berkelit dari tuduhan egoistis dan mengedepankan “Aku-isme/solipisme” Berkeley menyatakan hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung pada sensasi.
Filsafat Berkeley dan Hume ini adalah filsafat Borjuasi besar Inggris pada abad ke-18, yang merupakan kekuatan reaksioner menentang materialisme klasik Perancis, sebagai manifestasi dari kekuatiran atas revolusi di Inggris pada waktu itu.
Pada abad ke-19, Idealisme subyektif mengambil bentuknya yang baru yang terkenal dengan nama “Positivisme”, yang di kemukakan pertama kali oleh Aguste Comte (1798-1857 M), menurutnya hanya “pengalaman”-lah yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya , selain dari pada itu tidak ada lagi kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman itu. Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir yang lainnya dalam filsafat ini, misalnya saja William Jones (1842-1910 M) dan John Dewey (1859-1952), keduanya berasal dari Amerika Serikat dan pencetus ide “pragmatisme”, menurut mereka Pragmatisme adalah suatu filsafat yang menggunakan akibat-akibat praktis dari ide-ide atau keyakinan-keyakinan sebagai suatu ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya.
Filsafat
seperti ini sangat menekankan pada pandangan individualistic, yang
mengedepankan sesuatu yang mempunyai keuntungan atau “cash-value”(nilai
kontan)-lah yang dapat diterima oleh akal si “Aku” tsb. Pragmatisme
berkembang di Amerika dan adalah filsafat yang mewakili kaum borjuasi
besar di negeri yang katanya “the biggest of all”. Sebab dari pandangan
filsafat seperti ini Imperialisme, tindakan eksploitasi dan penindasan
dapat dibenarkan selama dapat mendapatkan keuntungan untuk si “Aku”.
Pandangan-pandangan idealisme subyektif dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya tidak jarang kita temui perkataan-perkataan seperti ini :
Pandangan-pandangan idealisme subyektif dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya tidak jarang kita temui perkataan-perkataan seperti ini :
“Baik buruknya keadaan masyarakat sekarang tergantung pada orang yang menerimanya, ialah baik bagi mereka yang menganggapnya baik dan buruk bagi mereka yang menganggapnya buruk.”
“kekacauan sekarang timbul karena orang yang duduk dipemerintahan tidak jujur, kalau mereka diganti dengan orang-orang yang jujur maka keadaan akan menjadi baik.”
“aku bisa, kau harus bisa juga,” dsb.

Iluminasionisme
Aliran ini mirip sekali dengan intuisionisme dan
banyak berkembang di kalangan tokoh agama; di dalam Islam teori ini
disebut teori kasyf, yaitu yang menyatakan bahwa manusia yang hatinya
telah bersih, telah siap dan sanggup menerima pengetahuan langsung dari
Tuhan.
Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung dari Tuhan semacam itu dapat diperoleh dengan latihan, yang di dalam Islam disebut Suluk atau Riyadhoh. Konon kemampuan orang-orang itu ialah sampai melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surge, neraka dan alam gaib lainnya. Pengetahuan itu diperolah bukan lewat indera dan bkan lewat akal, melainkan melalui hati.

Individualisme
Individualisme adalah
salah satu paham yang paling sering dibahas sebagai karikatur dalam
banyak perdebatan di kalangan intelektual kita. Setiap kali berbicara
tentang paham ini, biasanya kita langsung berpikir tentang egoisme,
keserakahan, kompetisi yang amburadul dan semacamnya. Polemik menarik
yang diawali oleh Liddle (Kompas, 8/1) saya harap dapat menjernihkan
pandangan kita terhadap salah satu ide terpenting dalam sejarah politik
modern.
Dalam tulisan singkat ini saya ingin menguraikan salah satu aspek dari penolakan beberapa filsuf terhadap paham individualisme. Kemudian, saya mencoba menjelaskan dasar-dasar paham individualisme yang sebenarnya. Tujuan saya bukanlah untuk menyalahkan salah satu pihak, tapi menjelaskan perbedaan fundamental antara keduanya.
Sebelumnya, saya ingin memberi catatan kecil bahwa dalam menolak atau menerima individualisme, penggunaan kategori "Timur" atau "Barat" sudah amat membingungkan. Budiawan (Kompas, 2/2) misalnya, harus menekankan kecurigaannya terhadap anjuran Liddle dengan alasan bahwa klaim individualisme yang universalistik mungkin saja mengandung "napsu-napsu imperialistik." Budiawan khawatir bahwa di balik penyebaran individualisme, tersembunyi kepentingan kekuasaan Barat untuk menaklukan Timur. Yang cukup ironis adalah, dalam memperlihatkan kelemahan individualisme, Budiawan tidak menggunakan Serat Centini.
Utopia: dari Plato ke Marx
Dasar argumen Mubyarto (Kompas, 2/2) dalam menolak paham individualisme, bersumber pada sebuah cita-cita tentang masyarakat yang harmonis. Jika harmoni ini tercapai, individu dan masyarakat tidak lagi perlu dipertentangkan. Siapa yang tidak senang bila korupsi menghilang, pemimpin tidak lagi menyalahgunakan kekuasaan, dan setiap konflik bisa diselesaikan dengan damai? Sejumlah pemikir, dengan cara masing-masing, telah mencoba menjawab pertanyaan- pertanyaan seperti yang sekarang kita ajukan.
Plato, misalnya, menyimpulkan
bahwa cita-cita itu bisa dicapai jika masyarakat dipimpin oleh tipe
manusia philosopher-king (kira- kira jenis pemimpin semacam Lee Kuan
Yeuw dalam konteks sekarang; pemimpin yang bersih dan berpikiran
jernih). 2000 tahun setelah Plato. Dalam salah satu dari sekian banyak
bukuya, The Philosophy of Right, Hegel membagi kehidupan sosial ke dalam
tiga tingkat. Tingkat pertama adalah kehidupan dalam keluarga. Di sini
manusia sejak kecil belajar tentang otoritas, tanggung jawab dan cinta.
Pada tingkat kedua adalah kehidupan dalam masyarakat sipil. Jika pada
tingkat pertama cirinya didasarkan pada semangat kebersamaan dan
tanggung jawab (dalam hubungan ayah terhadap anak misalnya), maka pada
tingkat kedua ini cirinya yang utama adalah kompetisi dan pengejaran
kepentingan diri yang tak terkendali. Masyarakat sipil, buat Hegel,
adalah satuan-satuan tanpa bentuk yang terlalu didasarkan kepada
pengejaran kepentingan ekonomi. Dari tingkat kehidupan pertama yang
luhur dan penuh cinta, setelah dewasa manusia terpaksa harus terjun ke
dunia persaingan yang keras.
Untuk
mengimbangi dan mengatur masyarakat sipil diperlukan hadirnya negara
atau pemerintahan yang kuat dan korporatis. Jika ini bisa tercapai maka
tahap kehidupan sosial yang ketiga tercapai. Di tahap ini pendulum
bergerak kembali, dari kompetisi kembali lagi ke harmoni. Dan bagi
Hegel, yang menjadi motor penggerak dalam tahap ketiga ini adalah kaum
birokrat. Kaum ini oleh Hegel disebut sebagai "kelas universal."
Dalam
perkembangan selanjutnya, Hegel memberi inspirasi kepada dua kelompok
pemikir, yaitu kaum Hegelian kanan dan kiri. Kaum Kanan menggunakan ide
negara korporatis Hegel untuk membela sebuah argumen bahwa individu dan
negara pada dasarnya satu dan sebangun: kita tidak perlu melihat
keduanya dalam hubungan yang konfliktual. Yang diperlukan oleh individu
karenanya bukanlah jaminan hak-hak perorangan, tapi pelaksana kewajiban
kepada negara, pengabdian dan disiplin (karena pengaruh Hegel, kira-kira
hal seperti inilah yang dikatakan oleh Prof Supomo dalam perdebatan
penyusunan UUD 45 kita dulu).
Di
kiri, contoh yang terbaik adalah Karl Marx. Walaupun teori dia
ditujukan untuk "memutarbalikkan Hegel," tema-tema Hegelian sangat
kental terasa pada Marx. Berpijak pada pengertian Hegel tentang
masyarakat sipil, Marx mengembangkan teori tentang kelas sosial. Dari
Hegel pula Marx mengambil tema tentang "sejarah yang berakhir" di mana
tidak ada lagi konflik-konflik yang mendasar dalam masyarakat. Buat
Hegel, seperti yang kita lihat di atas, hal ini terjadi jika "kelas
universal" telah mampu mengatasi kelemahan dalam masyarakat sipil. Buat
Marx, konflik-konflik mendasar itu akan hilang jika kelas proletariat
yang juga dianggap kelas universal telah melakukan revolusi sosial dan
mendirikan negara komunis.
Di sinilah
harmoni itu terjadi: sebuah situasi di mana bahkan kehadiran negara pun,
sebagai pengatur masyarakat, tidak lagi diperlukan. Bagi Marx seperti
ditulisnya dalam The German Ideology, apa yang dilakukan oleh manusia
dalam harmoni total itu adalah "berburu di pagi hari, memancing ikan di
siang hari, beternak di sore hari, dan berdiskusi setelah makan malam",
tanpa harus menjadi pemburu, pemancing, peternak dan kritikus.
Apa
yang membedakan Mubyarto beserta para pemikir besar di atas dengan para
filsuf dari tradisi individualisme dalam banyak hal bertumpu pada
perbedaan terhadap cita-cita kemasyarakatan. Para filsuf dari tradisi
individualisme, sejak John Locke, David Hume, Adam Smith hingga
Frederick Hayek menolak cita-cita masyarakat penuh keselarasan dan
keseimbangan itu. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka mencintai
pertikaian dan membenci persaudaraan. Jauh dari itu. Buat mereka
impian-impian harmoni itu adalah mimpi yang terlalu indah, yang jika
dipaksakan untuk diwujudkan akan sangat berbahaya bagi manusia umumnya.
Secara sederhana argumen mereka saya bagi ke dalam dua segi.
Segi
pertama bertumpu pada penerimaan terhadap ketidaksempurnaan masyarakat.
Buat paham individualisme masyarakat adalah kumpulan dari banyak
kepentingan yang berbeda dan sering bertentangan. Hal ini adalah
kenyataan alamiah. Yang harus dilakukan karenanya bukanlah menentang
alam.
Segi kedua, yang menjadi dasar dari
segi pertama di atas, adalah penerimaan paham ini akan keterbatasan
manusia. Bagi paham ini sangat sedikit manusia yang mampu menjadi
superhero, yang dalam bertindak tidak pernah memikirkan kepentingan
dirinya sendiri. Paham ini menolak kemungkinan hadirnya tipe manusia
jenis philosopher- king-nya Plato, atau kelas universalnya Hegel, atau
kelas pendobraknya Lenin. Dengan kata lain, paham ini tidak percaya
bahwa kaum birokrat, misalnya, adalah kelompok individu yang tidak lagi
mempunyai kepentingan apa-apa selain mengabdi masyarakatnya. Penguasa di
mana pun adalah juga manusia biasa, yang sebagai manusia dibatasi oleh
kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan demikian paham ini menerima
keterbatasan manusia bukan untuk mendorong meluasnya egoisme dan
kompetisi yang keras -- yang mereka lakukan adalah mencoba menerima
kenyataan apa adanya tentang sifat-sifat manusia.
Lenin
dan Mao seringkali berkata bahwa untuk mewujudkan cita- cita masyarakat
sosialis, diperlukan lahirnya tipe-tipe manusia baru, yang senantiasa
membela kepentingan umum dan melupakan kepentingan dirinya sendiri. Buat
paham individualisme, hal ini adalah utopia besar yang berbahaya.
Manusia selalu sama dari dulu dan sekarang: makhluk rasional yang selalu
bereaksi terutama terhadap hal-hal yang berakibat langsung terhadapnya
dan terhadap lingkungan terdekatnya. Menciptakan manusia baru hanya bisa
terjadi dengan menghancurkan manusia itu sendiri. Buat paham ini,
sejarah kelam Rusia di bahwa Lenin dan Cina di bawah Mao adalah monumen
sejarah yang mengingatkan kita semua terhadap "biaya sosial" -- untuk
menggunakan bahasa Budiawan -- dari upaya penciptaan manusia baru
tersebut.
Berangkat dari dua segi argumen
inilah para filsuf dari tradisi individualisme membangun argumen dan
konsep-konsep tentang perlunya demokrasi, penegakan kekuasaan hukum, dan
pemerintahan yang terbatas. Demokrasi, misalnya, mereka anggap
alternatif sistem pemerintahan yang terbaik yang dapat meminimalkan
dampak buruk yang diakibatkan oleh pengejaran kepentingan dari
individu-individu yang duduk di kursi kekuasaan.
Selain
itu, demokrasi juga mereka percaya sebagai sistem yang memungkinkan
perbedaan dalam masyarakat untuk tidak menjadi konflik yang terbuka dan
berdarah. Konsep-konsep penting inilah yang menjadi sumbangan paling
besar bagi sejarah politik modern dari para filsuf dalam tradisi
individualisme, dari John Locke hingga Frederick Hayek.

Intuisionisme
Intuisionisme adalah suatu aliran filsafat yang
menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia,
yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya dalah Henri Bergson.
Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme – setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal, Bergson menganggap adanya kemampuan tingkat tinggi dalam diri manusia, yaitu intuisi. Intuisi adalah suatu bentuk pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat dinamis.
Fungsi intuisi adalah untuk mengenal hakikat pribadi atau ‘aku’ dengan lebih murni dan untuk mengenal hakikat seluruh kenyataan. Intuisi inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh, sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap.

Fenomenologi
Menurut
Husserl “prinsip segala prinsip” ialah bahwa hanya intuisi langsung
(dengan tidak menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai
kriteria terakhir dibidang Filsafat. Hanya apa yang secara langsung
diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat
dianggap benar “sejauh diberikan”. Dari situ Husserl menyimpulkan bahwa
kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya
kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek,
seperti akan kita lihat lagi. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan
(logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi
mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.
“fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.
“Konstitusi” merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional.
Sebagai contoh dari konstitusi: “saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl sulalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis.
Pandangan Husserl tentang “Reduksi Fenomenologis”. Kita pada dasarnya cenderung untuk bersikap natural dalam artian dengan diam-diam percaya akan adanya dunia. Untuk memulai fenomenologi kita seharusnya meninggalkan sifat ini pada dunia real. Reduksi bukan merupakan kesangsian terhadap dunia, melainkan suatu netralisasi, ada tidaknya dunia real tidak memiliki perannya lagi. bagi Husserl reduksi merupakan ada tidaknya dunia real tidak relevan dan persoalan ini dapat disisihkan tanpa merugikan. Dengan mempraktekkan reduksi ini kita akan masuk pada “sikap fenomenologis”. Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu rigorous harus bersifat “apodiktis” (tidak mengizinkan keraguan).
Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk profil-profil. Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya saja tanpa dapat mengetahui bentuk depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi depannya, maka saya harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi depan dari profil-profil lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak pernah diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harus mulai dengan mempraktekkan “reduksi transendental”.
Jika kita menempatkan realitas material dengan mempraktekkan reduksi transendental tersebut, apakah yang tinggal untuk mendasari fenomenologi sebagai ilmu rigorous. Husserl berpendapat bahwa yang tinggal adalah kesadaran atau subjektivitas. Kesadaran tidak berkeluasan dalam ruang. Kesadaran tampak bagi saya secara total dan langsung. Karena itu menjadi mungkin mengemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Adanya kesadaran dan juga struktur kesadaran dapat dinyatakan secara absolut. Jadi, kesadaran harus dipilih sebagai dasar bagi fenomenologi sebagai ilmu rigorous.
Reduksi menyingkapkan kesadaran sebagai menurut kodratnya terarah pada dunia, sebagai intensional. Dengan demikian dunia mendapat tempatnya lagi dalam fenomenologi. Kita tidak lagi bicara tentang dunia secara naif, seakan-akan dunia sama sekalai tidak berkaitan dengan kesadaran, seperti dibuat dalam sikap natural. Tetapi dalam fenomenologi kita menemukan dunia sebagai korelat dari kesadaran, dunia sebagai fenomen.
Sumber:
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius. 1980
Bertens. Filsafat barat Abad XX, Inggris-Jerman. Jakarta : Gramedia. 1983

Kritisisme
Kritisisme merupakan
filsafat yang terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas
rasio sebelum melakukan pencarian kebenaran. Tokoh yang terkenal dari
aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan
Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya,
pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori
sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari
pengalaman (aposteriori).
Filsafat kritisisme adalah faham yang mengkritik terhadap faham Rasionalisme dan faham Empirisme. Yang mana kedua faham tersebut berlawanan. Faham Rasionalisme adalah faham yang beranggapan bahwa dasar semua pengetahuan itu ada dalam pikiran (berasal dari rasio/ akal). Faham ini depelopori oleh Rene Descartos (1596-1650). Faham Empirisme adalah faham yang beranggapan bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia itu berasal dari indra (pengalaman) kita. Faham ini di pelopori oleh David Hume (1711-1776)
Rene Descartes dalam buku Discaurse De La Methode tahun 1637. Ia menegaskan perlunya ada methode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan. Yaitu dengan menyangsikan segalanya secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti ada dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Discourse menerima 3 realitas atau substansi bawaan yang sudah ada sejak lahir, yaitu:
1. Relitas pikiran (res logitan)
2. Realitas perluasan (res extebsa “extebtion”)
3. Tuhan (sebagai wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu)
Pikiran adalah sesungguhnya kesadaran. Tidak mengambil ruang dan tidak dapat di bagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil.
Materi adalah keluasan mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi dan tak memilki kesadaran.
David Hume mencermati 2 hal yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak meneria substansi sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersam-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil pengindraan langsung sebab gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal ku alami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada relitas kertas. Diterima oleh Hume, namun, dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas dan bukan yang lainnya? Bagi Hume aku tidak lain hanyalah “a bundle or collction of perception” (kesadaran tertentu).
Kausalitas adalah jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya. Misal: batu yang disinari matahati menjadi panas. Kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Karena, pengalaman itu hanya memberi kita urutan gejala tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab akibat
Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka, Hume menolak kausalitas sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun, hanya dalam gagasan kita.
Dengan kritisisme Immanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas 2 pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan itu benar separuh dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indra kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (das ding on sich) namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku” atau “bagi semua orang.”
Namun menurut Kant ada 2 unsur yang
memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama
adalah kondisi-kondisi lahiriyah ruang dan waktu yang tidak dapat kita
ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indra kita. Ruang dan waktu
adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi
pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia
mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak
terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Demikian kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat membuat suatu sintesis dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini

Liberalisme
Liberalisme
berkaitan dengan kata Libertas (bhs. latin) yang artinya kebebasan, dan
Liberalisme mencakup banyak aliran yang berbeda artinya di bidang
politik, ekonomi dan keagamaan, yang berpangkal tolak pada kebebasan
orang-perorangan terhadap kekuasaan apapun (A. Heuken SJ: Ensiklopedi
Gereja). Liberalisme dapat dimengerti sebagai (1) tradisi politik (2)
filsafat politik dan (3) teori filsafat umum, mencakup teori nilai,
konsepsi mengenai orang dan teori moral sama halnya dengan filsafat
politik. ... Di Perancis, liberalisme lebih dekat dikaitkan dengan
sekularisme dan demokrasi (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2003).
Heuken lebih lanjut menyebut liberalisme dasarnya adalah pendangan Zaman-Pencerahan, bahwa manusia tidak hanya berhak mengusahakan masyarakat yang bebas dari kekuasaan negara, yang kurang mengindahkan hak-hak azasi manusia, melainkan juga membebaskan diri dari kuasa rohani yang tidak mendapat mandat dari umat. Kuasa dari atas ditolak.
Mirip dengan liberalisme, Libertinisme juga berkaitan dengan Libertas. Dalam Alkitab ada disebut orang libertini yang berarti orang Yahudi yang telah bebas dari penjara Romawi dan memiliki sinagoga sendiri di Yerusalem (Kis.6:9), tetapi dalam pengertian umum, libertin adalah orang yang membebaskan diri dari kekangan, terutama norma sosial dan agama, dan moral (Wikipedia).
libertinisme atau faham yang dianut orang libertin. Seorang tokohnya, Theophile de Viau diusir duakali dari kota Paris karena pandangannya yang atheistik dan hidup berfoya-foya, dalam sajak yang ditulisnya di The Satirical Parnassus ia tidak menghiraukan nilai moral dan seksual, dan dalam banyak sajaknya sama halnya dengan sesama libertin Marc Antoine de Gerard Saint Amant, mereka menentang ajaran agama dan konvensi moral masyarakat. Libertin menyiapkan jalan bagi abad berikutnya yang menularkan roh kritik yang dilandaskan pada logika (Encyclopedia Encarta, 2006).
Dari pengertian demikian, tepat seperti yang dikatakan oleh Verkuyl bahwa manusia berada di antara libertinisme dan farisiisme (lihat artikel Adat Istiadat). Disatu pihak ia ditarik kecenderungan keterbukaan dengan moralitas bebasnya, dipihak lain ia ditarik kecenderungan ketertutupan dengan moralitas kakunya.
Liberalisme, sekalipun bisa diartikan macam-macam dalam berbagai bidang yang berbeda, memiliki pengertian sendiri dalam teologi. Liberalisme teologi adalah salah satu pemikiran agama yang menekankan penyelidikan agama yang berlandaskan norma diluar otoritas tradisi gereja. Liberalisme adalah keinginan untuk dibebaskan dari paksaan kontrol dari luar dan secara konsekwen bersangkutan dengan motivasi dari dalam diri manusia.
Dalam Encyclopaedia Britannica, liberalisme dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu: masa pertama dari abad-17 sampai pertengahan abad-18; masa kedua dari pertengahan abad-18 sampai akhir abad-19; dan masa ketiga dari pertengahan abad-19 sampai abad-20.
Masa Pertama, liberalisme teologi biasa dikaitkan dengan filsuf dan matematikawan Rene Descartes. Masa ini juga disebut sebagai masa Rasionalisme dan Pencerahan. Descartes menekankan cara berfikir yang berpengaruh sampai abad-19 dan meletakkan dasar perkiraan kesadaran modern, yaitu: (1) keyakinan akan pikiran manusia, (2) mengutamakan manusia sebagai pribadi, (3) imanensi Tuhan, dan (3) keyakinan bahwa sifat alami manusia bisa dan selalu diperbaiki.
Masa Kedua, liberalisme teologi dikenal sebagai masa Romantisme yang diawali dengan disadarinya keunikan individu dan konsekwensinya mengenai pentingnya pengalaman individu sebagai sumber khusus mengenai arti yang tidak terbatas, ini memberi nilai lebih pada kepribadian dan kreativitas individu melebihi semua nilai lain. Jean-Jacques Rousseau dan Immanuel Kant adalah arsitek dibelakang liberalisme romantis ini.
Dalam teologi, Friedrich Schliermacher, dapat disebut sebagai bapak teologi protestan modern. Schleiermacher mengerti agama sebagai perasaan yang intuisif kebergantungan kepada yang kekal, atau Tuhan, yang dipercayainya sebagai pengalaman universal dari kemanusiaan. Ini menekankan pengalaman beragama daripada dogma agama. Teolog liberal berusaha untuk mendamaikan agama dengan ilmu pengetahuan dan masyarakat modern, dan mereka mengacu pada tehnik kritik historis atas Alkitab dalam usaha untuk membedakan Yesus Sejarah dan ajarannya dari dari apa yang mereka anggap sebagai mitologi dan dihasilkan oleh dogma.
Bila semula liberalisme teologi masih memberi tempat pada yang supranatural, lama-kelamaan perkembangan liberalisme mengarah pada penekanan Yesus sebagai sekedar manusia biasa. Albrecht Ritchl menolak aspek supranatural dari hidup Yesus dan menafsirkan mujizat Yesus dalam kerangka ajaran idealisme Hegel, dan menjadikan etika sebagai jantung agama. Pengikut Ritchl Adolf von Harnack menyebut Yesus adalah tokoh manusia yang memiliki damai dan kerendahan hati yang dapat menguatkan dan membawa damai pada orang lain. Kedudukannya sebagai pengajar di Berlin sempat dipersoalkan oleh gereja Jerman karena pandangannya yang liberal mengenai mujizat Alkitab termasuk soal sifat sejarah kebangkitan Yesus.
Masa ketiga, perkembangan liberalisme sekalipun sempat direm sejenak oleh Karl Barth dengan Neo-Orthodoxinya, makin menjauhkan agama dari aspek transendennya. Teologi Liberal masa ketiga ini juga sering disebut sebagai
Pada masa ketiga ini berkembang studi Yesus Sejarah yang menafikan sifat supra-natural Yesus. F.C. Baur memperkenalkan pendekatan yang anti-theistic dan yang supranatural dalam hubungan dengan sejarah kekristenan. D.F. Strauss (Life of Jesus) menolak sama sekali dasar sejarah elemen supranatural dalam Injil. J.E. Renan (Life of Jesus) juga senada dengan Strauss dan lebih jauh menyebut Yesus terobsesi semangat revolusi, penganiayaan dan mati syahid. Albert Schweitzer (The Quest of the Historical Jesus) disatu sisi menyalahkan Strauss dan Renan karena mengabaikan aspek eschatologis tentang kerajaan Allah dan akhir zaman, tetapi disisi lain ia meneruskan pandangan mereka karena Yesus ditampilkan sebagai politikus agama yang pemarah yang membuat kesalahan besar dalam cara hidupnya. Arthur Drews (The Christ Myth) bahkan lebih jauh memperlakukan seluruh Injil sebagai cerita fiksi. Faham Yesus Sejarah ini diteruskan oleh Jesus Seminar sejak 1985.
Kecenderungan menafikan yang supranatural disebut juga sebagai (Gereja dan Aliran Modern), Saeculum adalah pandangan serta sikap hidup yang menanggalkan yang waktuwi itu dari yang abadi, yang menanggalkan yang profan dari yang sakral. ... Sedang Sekularisme ialah aliran dalam kultur, dalam mana seluruh perhatian dituntut untuk dunia ini dan untuk zaman ini dengan mengucilkan Allah serta Kerajaan-Nya. Encyclopedia Wikipedia menyebut Sekularitas adalah keberadaan yang bebas dari kwalitas keagamaan dan spiritualitas, dan Sekularisme yang terkait masa Pencerahan menegaskan tentang kebebasan agama dan bebas dari agama, dalam negara yang netral dalam hal menyangkut kepercayaan, dan tidak memberikan hak khusus atau subsidi kepada agama. Britannica menyebut Sekularisme sebagai gerakan dalam masyarakat yang ditujukan untuk menjauhkan diri dari yang diluar dunia dan kembali ke bumi.
Dalam hubungan dengan Liberalisme, Arend Theodoor van Leeuwen (Christianity in World History) menyebut Liberalisme adalah produk yang disekularisasikan dari peradaban Kristen. Dari ketiga istilah Liberalisme, Libertinisme dan Sekularisme, kita menjumpai nafas yang sama yang mendasari, yaitu membebaskan diri dari yang Aeternum dan hanya berurusan dengan yang Saeculum. Semangat sekularisme sudah terlihat dalam pemikiran Friedrich Nietzsche yang dikenal sebagai pelopor Teologi Kematian Tuhan (Death of God Theology). Ia bertitik tolak menafikan Tuhan yaitu pada Tuhan yang tidak ada, karena itu Manusia harus menentukan jalan hidupnya sendiri.
Dalam Rudolf Bultman kita melihat skeptikisme rasional dibentuk oleh existensialisme berusaha mendikotomikan Yesus Sejarah dari Yesus Iman dan menolak konsep the three deckers universe (bumi surga neraka) yang disebutnya mitos. Seluruh etos dan pemikiran Perjanjian Baru adalah mitos. Hal-hal yang bersifat transendental dipandang sebagai mitologi dan harus dimengerti secara existensial yang subyektip. Tugas manusia adalah mendemitologisasikan ajaran PB itu. Paul Tillich mengemukakan bahwa Injil harus ditelanjangi dari sifat non-existensialnya dan terbuka bagi istilah-istilah yang bermakna bagi manusia modern. Baginya, Tuhan adalah The Ground of all Being.
Teolog sekular selanjutnya lebih radikal menafikan yang supranatural. Dietrich Bonhoeffer dalam tulisan awalnya cukup konservatif dan kristosentris, namun pandangannya berubah radikal ketika ia dipenjara karena konspirasi membunuh Hitler. Dalam Letters from Prison ia menekankan kekristenan tanpa agama dan bahwa dunia sudah dewasa (world come of age) dan kekristenan telah kehilangan sifat keagamaannya. Manusia sudah dewasa sehingga tidak lagi perlu bergantung kepada yang disebut Allah. Lebih jauh John A.T. Robinson (Honest to God) mulai dengan keyakinan bahwa gagasan Allah di atas sana telah kuno, tidak bermakna lagi dan salah. Manusia dewasa harus meninggalkan konsep proyeksi figur ayah ke angkasa yang dipercaya itu.
Pada tahun 1960-an konsep Nietzche mengenai Kematian Allah bangkit kembali di kalangan beberapa teolog radikal. Paul van Buren (The Secular Meaning of the Gospel) mengungkapkan gagasan radikalnya, dan dari judul bukunya kita dapat mengetahui kemana arah radikalisme Gabriel Vahanian (The Death of God: The Culture of Our Post-Christian Era). Harvey Cox (The Secular City) menyinggung tema yang sama. Di kalangan Roma Katolik, Robert Adolfs (The Grave of God) sampai menerima kutukan dari masyarakat disekitarnya. Yang lebih radikal lagi kita temukan dalam tulisan Thomas J.J. Altizer (The Gospel of Christian Atheism).
Kelihatannya ada gejala menarik untuk diamati sebagai Masa Ke-empat yang bisa ditambahkan dalam tiga pembagian yang disebut Britannica, yaitu pada masa tahun 1960-an dibalik gencarnya Liberalisme Radikal yang bukan saja menafikan Allah tetapi menganggap Allah telah mati dan sudah dikubur, dunia mengalami kekosongan batin/rohani yang luar biasa yang dikenal dengan Era Posmo (Postmodernism) dimana ketika Modernisme tidak lagi memadai terjadi pencarian manusia kembali akan nilai-nilai transendental yang mereka cari dalam agama-agama mistik Timur (New Age). Di kalangan teolog Liberal ada juga usaha untuk kembali membuka diri kepada hal-hal yang dulu dinafikan, hanya sayangnya mereka tidak kembali kepada supranaturalisme Alkitab tetapi lari kepada mistikisme/gnostikisme yang dahulu dikritik oleh Bultman sebagai yang harus didemitologisasikan.
Bila semula Liberalisme mempunyai andil memperbaiki beberapa kekeliruan Konservativisme ekstrim, ia tidak memberi jalan keluar yang lebih baik, malah nafas kebebasan itu berangsur-angsur membawa manusia kepada peninggian diri dan akhirnya makin menafikan yang kekal dan Tuhan dalam bentuk Liberalisme yang makin ekstrim.

Materialisme
Materialisme adalah suatu aliran
dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari pada materi
(benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer sedangkan ide
ditempatkan di sekundernya. Sebab materi ada terlebih dahulu baru ada
ide. Pandangan ini berdasakan atas kenyataan menurut proses waktu dan
zat.
Misal, menurut proses waktu, lama sebelum manusia yang mempunyai ide itu ada didunia, alam raya ini sudah ada.
Menurut zat, manusia tidak bisa berfikir atau mempunyai ide bila tidak mempunyai otak, otak itu adalah sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca indera kita. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada baharu muncul ide dari padanya. Atau seperti kata Marx “Bukan fikiran yang menentukan pergaulan, melainkan keadaan pergaulan yang menentukan fikiran.” Maksudnya sifat/fikiran seorang individu itu ditentukan oleh keadaan masyarakat sekelilingnya, “masyarakat sekelilingnya” –ini menjadi materi atau sebab yang mendorong terciptanya fikiran dalam individu tersebut.
Aliran-aliran dalam Materialisme
1. Materialisme Mekanik
Materialisme mekanik adalah aliran filsafat yang pandangannya materialis sedangkan metodenya mekanis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan gerak dan berubah, geraknya itu adalah gerakan yang mekanis artinya, gerak yang tetap selamanya atau gerak yang berulang-ulang (endless loop) seperti mesin yang tanpa perkembangan atau peningkatan secara kualitatif.
Materialisme mekanik tersistematis ketika ilmu tentang meknika mulai berkembang dengan pesat, tokoh-tokoh yang terkenal sebagai pengusung materialisme pada waktu itu ialah Demokritus (± 460-370 SM), Heraklitus (± 500 SM) kedua pemikir Yunanai ini berpendapat bahwa aktivitas psikik hanya merupakan gerakan atom-atom yang sangat lembut dan mudah bergerak.
Mulai abad ke-4 sebelum masehi pandangan materialisme primitif ini mulai menurun pengaruhnya digantikan dengan pandangan idealisme yang diusung oleh Plato dan Aristoteles. Sejak itu, ± 1700 tahun lamanya dunia filsafat dikuasai oleh filsafat idealisme.
Baru pada akhir jaman feodal, sekitar abad ke-17 ketika kaum borjuis sebagai klas baru dengan cara produksinya yang baru, materialisme mekanik muncul dalam bentuk yang lebih modern karena ilmu pengetahuan telah maju sedemikian pesatnya. Pada waktu itu ilmu materialisme ini menjadi senjata moril / idiologis bagi perjuangan klas borjuis melawan klas feodal yang masih berkuasa ketika itu. Perkembangan materialisme ini meluas dengan adanya revolusi industri, di negeri-negeri Eropa. Wakil-wakil dari filsafat materialis pada abad ke-17 adalah Thomas Hobbes(1588-1679 M), Benedictus Spinoza (1632-1677 M) dsb. Aliran filsafat materialisme mekanik mencapai titik puncaknya ketika terjadi Revolusi Perancis pada abad ke-18 yang diwakili oleh Paul de Holbach (1723-1789 M), Lamettrie (1709-1751 M) yang disebut juga materialisme Perancis.
Materialisme Perancis dengan tegas mengatakan materi adalah primer dan ide adalah sekunder, Holbach mengatakan : “materi adalah sesuatu yang selalu dengan cara-cara tertentu menyentuh panca indera kita, sedang sifat-sifat yang kita kenal dari bermacam hal-ichwal itu adalah hasil dari bermacam impresi atau berbagai macam perubahan yang terjadi di alam pikiran kita terhadap hal-ichwal itu”. Materialisme Perancis menyangkal pandangan religus tentang penciptann dunia (Demiurge), yang sebelum itu menguasai alam pikiran manusia..
Bahkan
secara terang-terangan Holbach mengatakan “nampaknya agama itu
diadakanhanya untuk memperbudak rakyat dan supaya mereka tunduk dibawah
kekuasaan raja lalim. Asal manusia merasa dirinya didalam dunia ini
sangat celaka, maka ada orang yang datang mengancam mereka dengan
kemarahan Tuhan, memakasa mereka diam dan mengarahkan pandangan mereka
kelangit, dengan demikian mereka tidak lagi dapat melihat sebab
sesungguhnya daripada kemalangannnya itu”.
Materialisme Perancis adalah pandangan yang menganggap segala macam gerak atau gejala-gejala yang terjadi dialam itu dikuasai oleh gerakan mekanika, yaitu pergeseran tempat dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia dan segala aktivitetnya pun dipandang seperti mesin yang bergerak secara mekanik, ini tampak jelas sekali dalam karya Lamettrie yang berjudul “Manusia adalah mesin”. Mereka tidak melihat adanya peranan aktif dari ide atau pikiran terhadap materi. Pandangan ini adalah ciri dan sekaligus kelemahan materialisme Perancis.
2. Materialisme Metafisik
Materialisme metafisik mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan diam, tetap atau statis selamanya seandainya materi itu berubah maka perubahan tersebut terjadi karena faktor luar atau kekuatan dari luar. Gerak materi itu disebut gerak ekstern atau gerak luar. selanjutnya materi itu dalam keadaan terpisah-pisah atau tidak mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Materialisme metafisik diwakili oleh Ludwig Feurbach, pandangan materialisme ini mengakui bahwa adanya “ide absolut” pra-dunia dari Hegel , adanya terlebih dahulu “kategori-kategori logis” sebelum dunia ada, adalah tidak lain sisa-sisa khayalan dari kepercayaan tentang adanya pencipta diluar dunia; bahwa dunia materiil yang dapat dirasakan oleh panca indera kita adalah satu-satunya realitet.
Tetapi materialisme metafisik melihat segala sesuatu tidak secara keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, atau segala sesuatu itu berdiri sendiri. Dan segala sesuatu yang real itu tidak bergerak, diam.
Pandangan ini mengidamkan seorang manusia suci atau seorang resi suci yang penuh cinta kasih. Feurbach berusaha memindahkan agama lama yang menekankan hubungan manusia dengan Tuhan menjadi sebuah agama baru yaitu hubungan cinta kelamin antara manusia dengan manusia. Seperti kata Feurbach: “Tuhan adalah bayangan manusia dalam cermin”, Feurbach menentang teologi, dalam filsafatnya atau “agama baru”-nya Feurbach mengganti kedudukan Tuhan dengan manusia, pendeknya manusia itu Tuhan. Feurbach tidak melihat peran aktif dari ide dalam perkembangan materi, yang materi bagi Feurbach adalah misalnya, manusia (baca: materi, pen) sedangkan dunia dimana manusia itu tinggal tidak ada baginya, atau menganggap sepi ativitet yang dilakukan manusia/materi tersebut.
Materialisme metafisik menganggap kontradiksi sebagai hal yang irasionil bukan sebagai hal yang nyata, disinilah letak dari idealisme Feurbach. Pandangannya bertolak daripada materialisme tetapi metode penyelidikan yang dipakai ialah metafisis. Metode metafisis inilah yang menjadi kelemahan terbesar bagi materialisme Feurbach.
3. Materialisme Dialektis
Materialisme
dialektis adalah aliran filsafat yang bersandar pada matter (benda) dan
metodenya dialektis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu mempunyai
keterhubungan satu dengan lainnya, saling mempengaruhi, dan saling
bergantung satu dengan lainnya. Gerak materi itu adalah gerakan yang
dialektis yaitu pergerakan atau perubahan menuju bentuk yang lebih
tinggi atau lebih maju seperti spiral. Tokoh-tokoh pencetus filsafat ini
adalah Karl Marx (1818-1883 M), Friedrich Engels (1820-1895 M).
Gerakan materi itu adalah gerak intern, yaitu bergerak atau berubah karena dorongan dari faktor dalamnya (motive force-nya). Yang disebut “diam” itu hanya tampaknya atau bentuknya, sebab hakikat dari gejala yang tampaknya atau bentuknya “diam” itu isinya tetap gerak, jadi “diam” itu juga suatu bentuk gerak.
Metode yang dipakai adalah dialektika Hegel, Marx mengakui bahwa orang Yunani-lah yang pertama kali menemukan metode dialektika, tetapi Hegel-lah yang mensistematiskan metode tersebut. Tetapi oleh Marx dijungkir balikkan dengan bersandarkan materialisme. Marx dan temannya Engels mengambil materialisme Feurbach dan membuang metodenya yang metafisis sebagai dasar dari filsafatnya. Dan memakai dialektika sebagai metode dan membuang pandangan idealis Hegel.
Dialektika Hegel menentang dan menggulingkan metode metafisis yang selama beabad-abad menguasai lapangan filsafat. Hegel mengatakan “yang penting dalam filsafat adalah metode bukan kesimpulan-kesimpulan mengenai ini dan itu”. Ia menunjukkan kelemahan-kelemahan metafisika :
1. Kaum metafisis memandang sesuatu bukan dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi dipandangnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, sedangkan Hegel memandang dunia sebagai badan kesatuan, segala sesuatu didalamnya terdapat saling hubungan organic.
2. Kaum metafisis melihat segala sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati dan tidak berubah-ubah, sedang Hegel melihat segala sesuatu dari perkembangannya, dan perkembangannya itu disebabkan kontradiksi internal, kaum metafisik berpendapat bahwa: “segala yang bertentangan adalah irasionil”. Mereka tidak tahu bahwa akal (reason) itu sendiri adalah pertentangan.
3. Sumbangan Hegel yang terpenting adalah kritiknya tentang evolusi vulgar, yang pada ketika itu sangat merajalela, dengan mengemukakan teorinya tentang “lompatan” (sprong) dalam proses perkembangan. Sebelum Hegel sudah banyak filsuf yang mengakui bahwa dunia ini berkembang, dan meninjau sesuatu dari proses perkembangannya, tetapi perkembangannya hanya terbatas pada perubahan yang berangsur-angsur (perubahan evolusioner) saja. Sedang Hegel berpendapat dalam proses perlembangan itu pertentangan intern makin mendalam dan meruncing dan pada suati tingkat tertentu perubahan berangsur-angsur terhenti dan terjadilah “lompatan”. Setelah “lompatan” itu terjadi, maka kwalitas sesuatu itu mengalami perubahan.
Akan tetapi dialektika Hegel ini diselimuti dengan kulit mistik, reaksioner, yaitu pandangan idealismenya sehingga dia memutar balikkan keadaan sebenarnya. Hukum tentang dialektika yaitu hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku didunia ini dipandangnya bukan seabagai suatu hal yang obyektif, yang primer melainkan perwujudan dari “ide absolut”. Kulitnya yang reaksioner inilah yang kemudian dibuang oleh Marx, dan isinya yang “rasionil” diambil serta ditempatkan pada kedudukan yang benar.
Sedangkan jembatan antara Marx dan Hegel adalah Feurbach, Materialisme dijadikan sebagai dasar filsafatnya tetapi Feurbach melihat gerak dari penjuru idealisme yang membuat ia berhenti dan membuang dialektika Hegel. Membuat hasil pemeriksaannya terpisah dan abstrak, Marx membuang metode metafisisnya, dan menggantinya dengan dialektika, sehingga menghasilkan sebuah system filsafat baru yang lebih kaya dan lebih sempurna dari pendahulunya.

Naturalisme
Naturalisme berasal
dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya dalam makna
dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi
“supranatural.” Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material
dan alam spiritual, masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era
Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan benda-benda
fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak
memperlawankan material dengan spiritual, istilah itu mencakup bukan
hanya alam fisik tetapi juga alam intelektual dan moral.
Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya Matahari, peredaran planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta, hanya merupakan contoh-contoh sederhana.
Ilmu
pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan
tersebut yang kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas
ilmu pengetahuan umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji,
menghubungkan semua keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan
bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa. Namun khusus untuk
kosmologi, pertanyaan ‘mengapa’ ini di titik tertentu mengalami
kesulitan yang luar biasa.
Sebagai suatu telaah mengenai alam semesta, kosmologi abad ke-20 yang dikenal sekarang ini berkembang dan diterima sebagai sintesis besar berbagai cabang ilmu pengetahuan alam. Kosmologi ini berupaya memperoleh pengertian yang menyeluruh mengenai struktur spasial, temporal, dan komposisional alam semesta skala besar dengan maksud mempersatukan tampilan dan sifat alam semesta teramati ke dalam suatu hopitesis yang akan mendefinisikan struktur dan evolusinya.
Kosmologi mengalami kemajuan yang luar biasa pesat terutama karena dukungan kecanggihan piranti pengamatan astronomis, serta laboratorium fisika zarah yang mampu menyediakan ‘ruang-waktu’ mirip masa lampau alam semesta dini. Sementara teori-teori fisika kontemporer menyediakan tetapan-tetapan dasar yang memungkinkan perilaku berbagai tampilan alam semesta dalam skala yang berbeda-beda kian dimengerti.
FAHAMAN-FAHAMAN YANG DIAJARKAN
Sebagai suatu telaah mengenai alam semesta, kosmologi abad ke-20 yang dikenal sekarang ini berkembang dan diterima sebagai sintesis besar berbagai cabang ilmu pengetahuan alam. Kosmologi ini berupaya memperoleh pengertian yang menyeluruh mengenai struktur spasial, temporal, dan komposisional alam semesta skala besar dengan maksud mempersatukan tampilan dan sifat alam semesta teramati ke dalam suatu hopitesis yang akan mendefinisikan struktur dan evolusinya.
Kosmologi mengalami kemajuan yang luar biasa pesat terutama karena dukungan kecanggihan piranti pengamatan astronomis, serta laboratorium fisika zarah yang mampu menyediakan ‘ruang-waktu’ mirip masa lampau alam semesta dini. Sementara teori-teori fisika kontemporer menyediakan tetapan-tetapan dasar yang memungkinkan perilaku berbagai tampilan alam semesta dalam skala yang berbeda-beda kian dimengerti.
FAHAMAN-FAHAMAN YANG DIAJARKAN
Plato. (427 – 347 SM)
Salah satu anasir dasar adalah perbedaan yang nyata antara gejala (fenomena) dan bentuk ideal (eidos), dimana plato berpandangan bahwa, disamping dunia fenomen yang kelihatan, terdapat suatu dunia lain, yang tidak kelihatan yakni dunia eidos. Dunia yang tidak kelihatan itu tercapai melalui pengertian (theoria). Apa arti eidos dan hubungannya dengan dunia fenomena bahwa memang terdapat bentuk-bentuk yang ideal untuk segala yang terdapat dibumi ini. Tetapi asalnya tidak lain daripada dari sumber segala yang ada, yakni yang tidak berubah dan kekal, yang sungguh-sungguh indah dan baik yakni budi Ilahi (nous), yang menciptakan eidos-eidos itu dan menyampaikan kepada kita sebagai pikiran. Sehinnga dunia eidos merupakan contoh dan ideal bagi dunia fenomena.
Aristoteles (384 – 322 SM).
Aristoteles menyatakan bahwa mahluk-mahluk hidup didunia ini terdiri atas dua prinsip :
1. Prinsip formal, yakni bentuk atau hakekat adalah apa yang mewujudkan mahluk hidup tertentu dan menentukan tujuannya.
2. Prinsip material, yakni materi adalah apa yang merupaakn dasar semua mahluk.
Sesudah mengetahui sesuatu hal menurut kedua prinsip intern itu pengetahuan tentang hal itu perlu dilengkapi dengan memandang dua prinsip lain, yang berada diluar hal itu sendiri, akan tetapi menentukan adanya juga. Prinsip ekstern yang pertama adalah sebab yang membuat, yakni sesuatu yang menggerakan hal untuk mendapat bentuknya.
Prinsip
ekstern yang kedua adalah sebab yang merupakan tujuan, yakni sesuatu
hal yang menarik hal kearah tertentu. Misalnya api adalah untuk
membakar, jadi membakar merupakan prinsip final dari api. Ternyata
pandangan tentang prisnip ekstern keuda ini diambil dari hidup manusia,
dimana orang bertindak karena dipengaruhi oleh tujuan tertentu,
pandangan ini diterapkan pada semau mahluk alam. Seperti semua mahluk
manusia terdiri atas dua prinsip, yaitu materi dan bentuk.
Meteri adalah badan, karena badan material itu manusia harus mati, yang memberikan bentuk kepada materi adalah jiwa. Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan hidup vegetatif (seperti jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa binatang) akhirnya membentuk hidup intelektif. Oleh karena itu jiwa intelektif manusia mempunyai hubungan baik dengan dunia materi maupun dengan dunia rohani, maka Aristoteles membedakan antara bagian akal budi yang pasif dan bagian akal budi yang aktif. Bagian akal budi yang pasif berhubungan dengan materi, dan bagian akal budi yang yang aktif berhubungan dengan rohani. Bagian akal budi yang aktif itu adalah bersifat murni dan Illahi.
Akal budi
yang aktif menjalankan dua tugas. Tugas yang pertama adalah memandanf
yang Illahi untuk mencari pengertian tentang mahluk-mahluk menurut
bentuknya masing-masing. Tugas yang kedua dari akal budi manusia yang
aktif adalah memberikan bimbingan kepada hidup praktis. Disini
diperlukan sifat keberanian, keadilan dan kesederhanaan.
William R. Dennes. (Filsuf Modern)
Beberapa pandangan :
- Kejadian dianggap sebagai ketegori pokok, bahwa kejadian merupakan hakekat terdalam dari kenyataan, artinya apapun yang bersifat nyata pasti termasuk dalam kategori alam.
- Yang nyata ada pasti bereksistensi, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang dan waktu tidak mungkin merupakan kenyataan dan apapun yang dianggap tidak mungkin ditangani dengan menggunakan metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam tidak mungkin merupakan kenyataan.
- Analisa terhadap kejadian-kejadian, bahwa faktor-faktor penyusun seganap kejadian ialah proses, kualitas, dan relasi.
- Masalah hakekat terdalam merupakan masalah ilmu, bahwa segenap kejadian baik kerohanian, kepribadian, dan sebagainya dapat dilukiskan berdasarkan kategorikategori proses, kualitas dan relasi.
- Pengetahuan ialah memahami kejadian-kejadian yang saling berhubungan, pemahaman suatu kejadian, atau bahkan kenyataan, manakala telah mengetahui kualitasnya, seginya, susunanya, satuan penyusunnya, sebabnya, serta akibat-akibatnya.

Neoplatonisme
Neoplatonisme
dapat dipandang sebagai usaha terakhir roh Yunani untuk menentang agama
Kristen yang sedang tumbuh. Neoplatonisme sesuai namanya merupakan
pembaharuan ajaran Plato dengan memperkayanya dan disesuaikan dengan
kebutuhan zaman.
Dualisme Plato adalah hal yang ditekankan dalam Neoplatonisme. Maksudnya untuk menekankan bahwa “yang ilahi” menjadi asas segala “yang ada” dan menjadi asal bersama dari segala sesuatu, baik yang dapat diamati maupun tidak, serta menjadi tujuan terakhir segala sesuatu yang ada.
Ammonius Sakkas dari Alexandria adalah pencipta Neoplatonisme, tetapi ia tidak terkenal seperti Plotinus. Plotinus adalah seseorang yang mengklaim mendapat ajaran langsung dari Ammonius Sakkas. Ia juga yang memberi pendasaran pada aliran Neoplatonisme. Inilah yang membuatnya lebih populer.
Ada beberapa ajaran Plotinus yang merupakan tambahan terhadap ajaran plato, yaitu sebagai berikut:
- Menjadikan filsafat Plato yang antroposentris yang bersifat pada manusia menjadi filsafat yang teosentris yang berpusat kepada “Yang ilahi”.
- Penambahan roh (nous) pada substansi dalam manusia. Roh diperlakukan sebagai sarana untuk memberikan rasionalitas kepada jiwa. Roh sebagai jembatan dalam mendapatkan pengetahuan yang lebih dari pengetahuan tentang benda-benda, yaitu idea. Dengan kata lain, roh merupakan hal utama dalam hubungan antara manusia dan Yang ilahi.
Filsuf aliran Neoplatonisme yang diketahui adalah Porphyry, Lamblichus Chalcidensis, Proclus Lycaeus, Julian (Penguasa Romawi tahun 361-363), Simplicius, dan Gemistus Pletho.

Positivisme
Positivisme
adalah salah satu aliran filsafat modern. Istilah Positivisme pertama
kali digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan
Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi,
komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik
kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi
atas hukum alam. Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte
dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah
tahapan-tahapan agama dan filsafat.
Agust Comte berkeyakinan bahwa pengetahuan manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran.
Relasi antara Positivisme dan Gejala-Gejala Sosial
Tesis positivisme adalah : bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dengan
demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek
diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan
untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII,
positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal
bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan
lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik.
Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap
definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia
juga menolak nilai (value).
Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial budaya tersebut yakni adanya anggapan bahwa:
- gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami,
- ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam,
- berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya. Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.

Pragmatisme
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani
“pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “isme” di sini sama
artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu aliran, ajaran atau paham.
Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa
pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah “faedah”
atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme
benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah
benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan).
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno.
Munculnya Pragmatisme
Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, Socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah menggunakannya secara metodis John Locke (1632 – 1704), George Berkeley (1685 – 1753), dan Dayid Hume (1711 – 1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikiran pragmatis ini. Dari segi historis, abad ke-19 di tandai dengan skeptisisme yang di tiupkan oleh teori evolusi Darwin. Nilai religius dan spiritual menjadi, dipertanyakan.
Filsafat Unitarian, suatu aliran pemikiran yang hanya menerima ke Esaan, Tuhan yang bergantung pada argumen-argumen tentang teologi kodrati dan perwahyuan, lemah dalam membela diri terhadap evolusionisme. Karena kaum ilmuan menerima teori evolusi Darwin, filosof-filosof Unitarian menjadi tenggelam. Lebih lagi karena keyakinan bahwa pemikiran mengenai proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan atheisme dan bahwa manusia hanya bisa membenarkan eksistensinya dengan agama, mereka tidak dapat mengintegrasikan hipotesis evolusi ke dalam keyakinan mereka.
Pada saat yang sama, suatu kelompok pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan untuk menghadapi krisis teologi ini tanpa mengorbankan ajaran agama yang essensial. Kelompok ini melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanistis tentang teori Darwin dapat menghancurkan agama dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang fatalistis. Mereka khawatir bahwa interpretasi ini dapat berakhir dengan sikap yang pasif, apatis, bunuh diri dan semacamnya. Karena itu mereka menganjurkan agar evolusi Darwin dipahami secara lain. Dan karena filsafat Unitarian sendiri hampir mati, kelompok ini yang dikenal dengan “Perkumpulan Metafisika”, menyusun prinsip-prinsip pragmatisme baik secara bersama maupun secara individual dalam menghadapi evolusi Darwin
Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh C.S. Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama “keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya. la belum menyadari bahwa keyakinan seperti itu juga cocok untuk filsafat.
Karen
Peirce sangat tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah
atau eksperiemntal, ia mengambil alih istilah pragmatisme untuk
merancang suatu filsafat yang mau berpeling kepada konsekwensi praktis
atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya.
Filsafat tradisional, menurut Peirce, sangat lemah dalam metode yang akan memberi arti kepada ide-ide filosofis dalam rangka eksperimental serta metode yang akan menyusun dan memperluas ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup fakta-fakta baru. Metafisika dan logika tradisional hanya mengajukan teori-teori yang tertutup dan murni tentang arti, kebenaran, dan alam semesta.
Pendeknya, Filsafat tradisional tidak menambah sesuatu yang baru. Dengan sistemnya yang tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih menutup jalan untuk diadakan penyelidikan dan bukannya membawa kemajuan bagi filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam rangka itulah Peirce mencoba merintis suatu pemikiran filosofis baru yang agak lain dari pemikiran filosofis tradisional.
Pemikiran filosofis yang baru ini diberi nama Pragmatisme. Pragmatisme lalu dikenal pada permulaannya sebagai usaha Peirce untuk merintis suatu metode bagi pemikiran filosofis sebagaimana yang dikehendaki di atas.
Pragmatisme merupakan bagian sentral dari usaha membuat filsafat tradisional menjadi ilmiah. Tetapi untuk merevisi seluruh pemikiran filosofis tradisional bukan suatu hal yang mudah. Untuk maksud benar-benar dibutuhkan revisi dalam logika dan metafisika yang merupakan dasar filsafat.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif.
Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide).
Kemudian denganآ mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Pragmatisme adalah salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James.
Pencetus dan Tokoh-tokoh Pragmatisme
Berbicara tentang suatu aliran tertentu, kita tidak lepas dari siapa pencetus Pragmatisme di Amerika Serikat, serta tokoh-tokohnya yang berpengaruh. Ini berarti bahwa kita di bawa untuk melihat siapa pencetus dan tokoh-tokoh lainnya. Menurut Copleston, pemula aliran pragmatisme di Amerika Serikat dalam C.S. Peirce (1839-1914).
Secara pasti, pragmatisme lebih populer dan selalu dikaitkan dengan nama William James, karena dialah yang mempopulerkannya. Hal ini bisa dimenegerti karena James sebagai lektor dan penulis lebih cepat terkenal dari pada Peirce sebagai filosof selama hidupnya.

Rasionalisme
Rasionalisme
adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan melalui
pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini
menjadi salah satu bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul
perlawanan terhadap gereja yang menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang
tidak bisa diterima oleh logika.
Filsafat
Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala
pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika
yang jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika
matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya
adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza – biasa
dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise
Pascal (1623-1662).
Hubungan Jiwa dan Badan : Descartes mengatakan bahwa aku itu terdiri dari dua substansi, yakni substansi jiwa dan substansi jasmani atau materi. Descartes selanjutnya membedakan antara substansi manusia dan hewan pada rasio atau jiwanya.
Descartes mengatakan, manusia memiliki kebebasan yang mana tidak dimiliki oleh hewan. Hewan dalam prilakunya selalu terbentuk secara otomatis, bukan dengan kebebasan karena hewan tidak memiliki jiwa sebagai dasar kemandirian substansi.
Adapun kesamaan antara hewan dan manusia adalah pada jasmani atau tubuhnya, karena itu bisa dikatakan bahwa sesungguhnya tubuh manusiapun sebenarnya berjalan secara otomatis dan tunduk kepada hukum-hukum alam.
Descartes selanjutnya menyebut tubuh adalah sebagai L`homme machine atau mesin yang bisa berjalan secara otomatis (berjalan sendiri). Badan bisa bergerak, bernafas, mengedarkan darah dan seterusnya tanpa campur tangan pikiran atau jiwa. Perbedaannya adalah kalau pada manusia mesin ini diatur atau dikontrol oleh jiwa sementara pada hewan mesin ini berjalan secara alami atau otomatis.
Bagaimana jiwa mengatur atau mengontrol tubuh (mesin), Descartes menjelaskannya dengan menunjukkan sebuah kelenjar kecil (glandula pinealis) yang ada di otak sebagai semacam jembatan. Dengan adanya kelenjar kecil yang berfungsi sebagai jembatan penghubung ini maka tubuh bisa merepleksikan aktifitas-aktifitas unik seperti gembira, bersedih, tertawa , murung dan lain-lain.
Etika
Dalam hal etika, Descartes mempunyai pandangan dualitas dimana disatu sisi dikatakan manusia bebas dan independen dan disisi lainnya dikatakan bahwa kebebasan tersebut tidak independen melainkan dituntun oleh Tuhan.
Descartes mengatakan, untuk mencapai jiwa yang bebas dan independen maka kita harus mengendalikan hasrat-hasrat yang ada didalam diri kita sehingga jiwa bisa menguasai tingkah laku kita sepenuhnya. Dengan menguasai atau mengontrol hasrat dan tingkah laku, manusia bisa memiliki kebebasan spiritual. Hal ini bisa terjadi karena hasrat dan nafsu seperti : cinta, kebencian, kekaguman, kegembiraan, kesedihan dan gairah dianggap sebagai keadaan pasif dari jiwa dan jika manusia mampu menaklukkan nafsu-nafsu ini maka dia akan bebas dan independen.
Akan tetapi kata Descartes, yang disebut bebas dan independen dalam pengertian otonomi tersebut bukanlah bebas mutlak melainkan bebas berdasarkan penyelenggaraan Ilahi.
Problem dan Pengaruh Filsafat Descartes
Pandangan Filsafat Descartes terutama tentang dasar filsafat cogito nya, selanjutnya dipercaya sebagai tonggak dimulainya filsafat rasionalis. Dengan cogito Descartes mengandaikan bahwa pikiran atau kesadaran akan melukiskan kenyataan diluar pikiran kita, dengan kata lain keadaan diluar pikiran atau kenyataan yang kita temui diluar pikiran adalah bersumber dari pikiran atau kesadaran diri kita. Dengan cara menyadari kesadaran diri kita sendiri maka kita akan mengenal dunia diluar diri kita.
Pandangan Descartes tersebut dikemudian hari malah menimbulkan problem yang sangat mendasar, jika dikatakan bahwa pikiranlah yang melukiskan kenyataan diluar pikiran, namun pada kenyataan tidak disemua lukisan akan menampilkan kenyataan.
Dengan
kata lain, Descartes hanya berpijak kepada salah satu alat sementara
alat yang lainnya ( kenyataan material ) diabaikan. Descartes
beranggapan bahwa hanya dengan rasio atau kesadaran (cogito) maka kita
akan mengenali diri dan pikiran kita, sementara kenyataannya kita masih
melihat adanya ada lain di alam kenyataan.

Strukturalisme
Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode
berfilsafat pada pertengahan abad ke-20 mendapat reaksi dari aliran
Strukturalisme. Jika eksistensialisme menekankan pada peranan individu,
maka strukturalisme juga melihat manusia “terkungkung” dalam berbagai
struktur dalam kehidupannya. Secara garis besar ada dua pengertian pokok
yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai aliran
filsafat.
a. Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinandde Saussure.
b. Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur kekerabatan dan struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusasteraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia.
Para sturukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistic dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat Fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandang yang subjektif.
Tokoh berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme adalah Michel Foucault (1926-1984). Kesudahan “manusia” sudah dekat, itulah pendirian Foucault yang sudah terkenal tentang “kematian” manusia. Maksud Foucault bukannya bahwa nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep “manusia” sebagai suatu kategori istimewa dalam pemikiran kita. Manusia akan kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.
a. Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh Ferdinandde Saussure.
b. Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas tentang manusia, sejarah, kebudayan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur kekerabatan dan struktur-struktur yang lebih luas dalam kesusasteraan dan dalam pola-pola psikologik tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia.
Para sturukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistic dalam berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat Fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat manusia dari sudut pandang yang subjektif.
Tokoh berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme adalah Michel Foucault (1926-1984). Kesudahan “manusia” sudah dekat, itulah pendirian Foucault yang sudah terkenal tentang “kematian” manusia. Maksud Foucault bukannya bahwa nanti tidak ada manusia lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep “manusia” sebagai suatu kategori istimewa dalam pemikiran kita. Manusia akan kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.

Thomisme
Thomisme adalah aliran filsafat
yang muncul sebagai warisan dari pemikiran St Thomas Aquinas , seorang
imam Katolik yang saleh. Kata ini berasal dari Summa Theologica, salah
satu dokumen paling berpengaruh dalam filsafat abad pertengahan dan
terus dipelajari hari ini di kelas filsafat. Dalam ensiklopedi Angelici
Doctoris , Paus St Pius X mengingatkan bahwa ajaran-ajaran Gereja tidak
bisa dipahami secara ilmiah tanpa dasar-dasar filosofis dasar utama
tesis 'Thomas.
Filsafat Thomistik
St Thomas Aquinas percaya bahwa kebenaran adalah benar di mana pun ditemukan, seperti juga para filsuf Yunani , Romawi , Yahudi , dan Muslim. Secara khusus, ia adalah seorang realis (yaitu, bahwa dunia dapat diketahui seperti apa adanya, berlawanan dengan sikap skeptis ). Dia terutama mengikuti terminologi dan metafisika Aristoteles, dan menulis komprehensif komentar tentang Aristoteles , ini dapat melaui argumennya yang menegaskan pendapat Aristoteles.
Thomas
mengikuti pemahaman Aristoteles, merujuk kepadanya sebagai "Filsuf". Ia
juga mengikuti beberapa prinsip neoplato, seperti ketika ia mengatakan
bahwa "adalah mutlak benar bahwa ada sesuatu yang pertama yang pada
dasarnya ada dan pada dasarnya baik , yang kita sebut Allah, ... [dan
bahwa segala sesuatu] bisa disebut baik dan ada, sejauh ia
berpartisipasi di dalamnya dengan cara suatu asimilasi tertentu ... "