pantaskah PORNOGRAFI disebut sebagai seni ??

pornografi di sebut-sebut sebagai seni mungkin sudah akrab di telinga kita. Tapi sudah adakah kesimpulan kita akan hal ini??

DEBAT tentang perlu tidaknya pemberlakuan UU Antipornografi dan Pornoaksi masih menjadi pembicaraan hangat di masyarakat, meskipun sudah nampak niat DPR untuk memberlakukannya.


Ada sisi yang menarik di seputar pro-kontra RUU Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP), yaitu digunakannya pendasaran seni dan estetika untuk membenarkan pornografi itu sendiri, yang pada dasarnya kontradiktif pada dirinya sendiri, karena tidak ada estetik tanpa etik.
Di antara dua kutub yang berseberangan, pro dan kontra terhadap RUU APP, para pengelola industri kebudayaan tidak dapat mencari dasar pembenaran dari dua sudut pandangan yang berbeda itu. Baik itu, ditinjau dari segi moral menurut argumentasi dari pihak yang pro, maupun pendapat sebaliknya, dari kalangan yang menolak, yang mengkhawatirkan semakin tersendatnya kebebasan pers dan pengindahan terhadap SARA.
Maka, satu-satunya pendasaran yang dirasa paling rasional untuk menolak usulan DPR itu, adalah dengan menganggap eksploitasi tubuh perempuan sebagai ekspresi seni yang membutuhkan kebebasan sepenuhnya. Dengan kata lain, baik dari sosiologi hukum, posisi mereka sebagai pelaku, patut mendapat pidana, juga dari sudut pandang etika moral masyarakat kegiatan, tersebut dikaitkan sebagai penyebab degradasi moral bangsa. Hanya dengan menjadikannya sebagai ekspresi estetika-lah, legitimasi untuk yang menjamin akumulasi kapital dari bisnis pornogarafi dapat terus dipertahankan.
Diandaikan, bahwa untuk menghasilkan kreativitas seni yang berkualitas dibutuhkan tuntutan akan kebebasan yang juga semakin meluas. Sedangkan, yang memproduksi kebebasan dalam masyarakat tidak lain adalah politik. Besarnya kebebasan yang diberikan politik sebagaimana diimplementasikan melalui produk perundang-undangan akan diganti oleh para praktisi seni, dengan kreativitas yang berkualitas pula.
Dalam praktiknya, apabila RUU APP direalisasikan sebagai kebijakan politik, dan pada saat yang sama pornografi-pornoaksi dianggap sebagai ekspresi seni dan estetika, berarti politik telah menghambat dan membuat tumpulnya kreativitas praktisi untuk menelurkan karya yang berkualitas.
Seni dan Politik
Antara seni dan politik, seolah-olah memiliki posisi diametris terkait aspek kebebasan itu sendiri. Bagi para politisi, memberikan kebebasan sepenuhnya kepada masyarakat sama dengan menggali liang kuburnya sendiri.
Mengikuti definisi Max Weber, tentang arti politik sebagai ketrampilan untuk mempengaruhi dan menaklukkan kekuasaan orang lain demi kepentingan pribadi, maka dibukanya keran kebebasan dalam sistem politik, merupakan halangan dalam memperluas dan mempertahankan kekuasaannya.
Bagi mereka, biaya yang dikeluarkan untuk memberikan kebebasan penuh kepada seniman tidak sepadan dengan keuntungan yang diperoleh kemudian.
Dalam realitas politiklah, yang sering memanipulasi maksud dan tujuan seni sesuai dengan cita-cita politik yang didengungkan pemimpin di hadapan masyarakat. Seperti realisme sosialis yang menjadi ideologi resmi seniman bekas Uni Soviet di bawah pemimpin VI Lenin. Politisasi seni dan kebudayaan di Indonesia sendiri, dapat dilihat dari pertentangan ideologis antara Lekra yang lebih menganggap seni sebagai abdi politik dengan seni untuk seni menurut blok Manikebu.
Namun, sebagaimana kita ketahui, sejarah Orde Lama ternyata melarang Manikebu dengan dalih kontra-revolusi. Apa yang ingin diutarakan, yaitu dengan mendasarkan diri sebagai ekspresi seni, sudah selayaknya RUU APP ditiadakan. Karena dengan semakin ikut campurnya negara pada kawasan seni, risiko hilangnya kreativitas seni dan estetis, tidak lama lagi akan terjadi.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan posisinya, bukan hal yang aneh jika para pengelola industri kebudayaan kita lebih senang berlindung di balik kedok seni daripada harus ikut memihak dari kedua pihak yang pro dan kontra. Tak ayal lagi, inilah suatu keadaan yang oleh Jean Beudrilard disebut The End of Screet. Segala hal yang menurut norma masyarakat tradisional dianggap tabu, kini telah direkonstruksi sebagai komoditi seksualitas.
Setiap motif dan tujuan suatu tindakan, entah itu baik maupun buruk, menuntut dasar legitimasi dari sesuatu yang melampauinya untuk bisa diterima masyarakat yang seoalah-olah rasional. Di sini, seni-estetik pun dijadikan sebagai legitimasi normatif bagi keberadaan dan tetap eksisnya pornografi. Tak berbeda jauh dari perlakuan para teroris yang menjadikan agama sebagai pembenar dari tindakannya.
Perubahan akan persepsi seni keindahan, tidak lepas dari konteks historis dan semangat zaman di belakangnya. Di saat semangat Ilmu Pengetahuan Alam berada dalam zaman keemasannya, juga mempengaruhi konsepsi masyarakat tentang arti indah itu sendiri.
Sebagaimana diperlihatkan HG Gadamer, dengan mendasarkan pada objektivitas sebagai ukuran kebenaran ilmu alam, persepsi tentang keindahan pun oleh Kant, hanya dilihat dari sejauh mana ia mendatangkan kesenangan dalam memandang yang bagus. Kiranya, hanya dari sudut pandang inilah kebenaran dan objektivitas seni bisa dikomunikasikan dan memiliki validitas ilmiah.
Kini, dengan kuatnya tekanan pasar dalam segala aspek kehidupan, reproduksi kesadaran di bawah payung industri kebudayaan, intepretasi terhadap makna indah hanya terpaut, bagaimana sesuatu dapat menjadi komoditi. Demikian pula dalam kasus pornografi, ia layak disebut indah karena mampu diperjualbelikan.
Namun, sampai kapan ekspresi seni mampu dijadikan kedok pornografi-pornoaksi, akan sangat tergantung dari sejauh mana pemahaman kita tentang makna dan acuan keindahan itu sendiri dalam bingkai kehidupan.
Estetika
Ada kesulitan tersendiri untuk menilai estetika kehidupan karena erat kaitannya dengan subjektivitas, khususnya masalah selera. Namun, adanya kesadaran bahwa segala sesuatu tak lepas dari interpretasi dan rekonstruksi kita terhadap kenyataan alamiah.
Sehingga, apa yang disebut sebagai indah, baik, buruk dan sistem nilai lainnya, merupakan hasil apresiasi manusia sesuai dengan konstruksi sosial budaya masyarakatnya.
Nilai budaya suatu masyarakat, menentukan hasil maupun penilaian terhadap apresiasi para seniman. Estetis tidaknya sesuatu karya, ditentukan sejauh mana ia memberikan manfaaat bagi masyarakatnya. Sejauh mana ia merusak atau pun merawat keadaan sosial masyarakat menjadi ukuran suatu apresiasi seni.
Dengan kata lain, tidak menafikan bagaimana para seniman sebagai anak zamannya masing-masing, dengan keadaan sosial masyarakat yang tentu mempengaruhi pembentukan karyanya. Sampai batas mana, ia bisa mengkoordinasi dan mempertahankan opini masyarakat, ukuran estetis tidaknya suatu karya.
Menjadi jelas untuk menilai hubungan antara estetika dan pornografi. Kita bisa melihat, sejauh mana ia memberikan dampak positif bagi masyarakat. Terdapat hubungan dialektis antara estetika dan etika dalam masyarakat. Sehingga, apa yang disebut karya atau hasil kebudayaan masyarakat, tidak hanya terlihat sebagai seremenonial atau karya seni positivistis tanpa memiliki keterkaitan dengan realitas namun juga fungsional.
Dengan demikian, ada sedikit kejelasan dalam menentukan, sejauh mana pornografi dengan berbagai penekanannya bisa disebut ekspresi seni, sangat tergantung pada penekanan moralitas yang inheren dalam ekspresi dan karya.
Pada tahap berikutnya, fungsi pemeliharaan suatu karya sangat ditentukan oleh kultur masing-masing daerah dan sistem kebudayaannya. Bukanlah suatu ekspresi pornografi bagi suku Asmat untuk memakai koteka, dilihat fungsinya dalam memelihara tradisi adat masyarakat.
Dan, belum tentu mendapat pemaknaan demikian, ketika diterapkan pada kebudayaan. Rencana penerapan RUU Antipornografi-Pornoaksi oleh pemerintah pada Maret 2006, karena sulitnya mencari definisi maupun konsep yang tegas tentang batas-batasnya. Bisa-bisa malah menghambat ekspresi kebebasan masyarakat dan pelanggaran terhadap SARA.
Jangan sampai pemerintah melakukan tindakan bodoh; dengan memilih membakar lumbung padi untuk membunuh satu tikus yang ada di dalamnya.


so, apa kesimpulan anda??

0 komentar:

Post a Comment